Sepotong pelajaran Ayah bergumpal di hatiku. Tiap Jumat pagi, aku memperhatikan Ayah memasakkan banyak makanan untuk anak jalanan. Kali ini, biarkan aku meniru sifat baiknya.
** Â Â
Aku naik ke kamar Ayah. Kurebahkan tubuh di ranjang king size berseprai putih. Pandanganku membentur layar hitam TV plasma. Tak tergerak niatku untuk menonton TV.
Entah mengapa, malam ini aku ingin tidur di kamar Ayah. Absennya Ayah ternyata mengosongkan rongga dadaku. Tadi setelah shalat Isya, aku curhat pada Frater Gabriel via e-mail. Namun, e-mailku tak dibalas.
Ya, Allah, aku kesepian. Biasanya, Ayah tidur di ranjang ini. Ayah memilih tidur lebih awal dan bangun di sepertiga malam. Waktu tidur Ayah lebih panjang dariku dan Papa.
Kalau aku terbangun karena bermimpi buruk, aku akan lari ke kamar Ayah. Dia akan memelukku, membawaku tidur bersamanya. Ayah membelai-belai punggungku sampai aku tertidur lagi.
Dinding pertahananku ambruk. Tanpa hadirnya Ayah, aku tak tenang. Aku terbiasa membuka pintu kamar dan mendapati Ayah tertidur masih memakai jasnya. Di malam berhujan ini, tak kutemukan lagi sosok Ayahku.
Langit marah. Hujan mengamuk. Petir berteriak-teriak seraya mengirimkan cahaya menyilaukan. Aku bergelung di tempat tidur Ayah.
Cairan hangat apa ini di pipiku? Ah, aku menangis. Aku takut petir. Jika Ayah di sini, dia pasti memelukku. Kalau Papa, mana sempat? Papa akan melontarkan segudang alasan tiap kali aku minta ditemani.
Tak bisa memejamkan mata, aku beringsut bangun. Kuhempaskan tubuh di kursi piano. Kumainkan piano sambil bernyanyi.
Kelak kau kan menjalani hidupmu sendiri