Silvi rebah di pelukan Calvin. Ia menangis keras-keras. Calvin merengkuhnya erat.
"Kenapa, Silvi Sayang? Cerita sama Ayah..."
"Anak-anak di sekolah sebelah mengejek mata Silvi. Katanya, mata Silvi seperti hantu."
Hati Calvin terpagut sedih. Kenapa anak-anak telah diajarkan untuk mengejek teman sebayanya? Tidak, tidak ada yang salah dengan mata biru Silvi. Mata Silvi berwarna biru, cantik sekali. Sayangnya, Calvin tak sepintar Adica dalam berbicara. Alhasil ia hanya mendaratkan ciuman hangatnya di kening Silvi.
** Â Â
"Astaga...Calvin, kamu ngapain di sini?"
Betapa kaget Adica mendapati Calvin mengenakan jas kesayangannya. Ia juga menenteng soft case berisi laptop dan berkas.
"Biarkan aku bertukar tempat denganmu beberapa hari saja," kata Calvin tenang.
Adica melipat dahi, "Bertukar tempat? Tidak bisa, Yang Mulia Komisaris Utama. Aku Dirut, kamu owner. Lagian, kamu jaga Silvi aja di rumah."
Calvin menggeleng tegas. Ia ingin sibuk di kantor seperti Adica. Ia ingin dirinya sedikit lebih berguna di mata Silvi. Terpaksa Adica mengalah. Kalau dipikir-pikir, ia hidup seatap dengan dua orang keras kepala.
"Ok. Aku jadi kamu, dan kamu jadi aku. Ayo pergi."