Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Papa dan Ayah] Ayah Tak Berguna, Sebuah Prolog

11 November 2019   06:00 Diperbarui: 11 November 2019   06:02 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ayah Tak Berguna

Gadis kecil berparas cantik di atas sepeda biru itu tertawa kegirangan. Rambut panjangnya melambai dibelai angin sore. Sepeda baru yang dibelikan sang Papa persis warna matanya. Ia mengayuhnya, sementara pria orientalis bermata sipit lekat mengikuti dari belakang.


"Papa Adica, katanya mau pegangin sepeda Silvi." protes si gadis manja.

Adica tersenyum, "Nggak ah. Silvi, kan, bisa sendiri. Papa temenin aja ya."

Tak perlu bermain sepeda terlalu jauh. Sebab halaman rumah mereka seluas lapangan bola. Silvi dan Adica begitu asyik bermain hingga tak menyadari sesosok pria berparas pucat tengah menatap mereka dengan sedih dari puncak tangga. Pria yang juga berparas oriental itu, merapatkan jasnya.

"Dia lebih memilih Papanya dibandingkan Ayahnya. Aku tidak berguna..." lirih si pria, pilu.

Gurat kesakitan tercermin di wajah tampan Calvin. Ia mencengkeram dada. Sementara itu, darah segar mengalir dari hidungnya.

**   

Mungkin ini memang jalan takdirku

Mengagumi tanpa diintai

Tak mengapa bagiku

Asalkan kau pun bahagia

Dalam hidupmu, dalam hidupmu

Telah lama kupendam perasaan itu

Menunggu hatimu menyentuh diriku

Tak mengapa bagiku

Mencintaimu pun adalah

Bahagia untukku, bahagia untukku

Kuingin kau tahu

Diriku di sini menanti dirimu

Meski kutunggu hingga ujung waktuku

Dan berharap rasa ini 'kan abadi untuk selamanya

Dan izinkan aku

Memeluk dirimu sekali ini saja

'Tuk ucapkan selamat tinggal untuk selamanya

Dan biarkan rasa ini

Bahagia untuk sekejap saja (Ungu-Cinta Dalam Hati).

Piano berdenting lembut di ruang sebelah. Silvi berhenti mengerjakan Prnya. Refleks Adica mengalihkan fokus perhatian dari laporan yang dikirimkan general managernya.

"Dengar, Ayahmu sedang main piano." ujar Adica.

"Ayah nggak berguna. Silvi mau sama Papa aja." cetus Silvi.

Sebelah alis Adica terangkat, "Jangan bilang begitu. Siapa yang jaga Silvi di rumah kalau Papa lagi ke luar negeri?"

Silvi manyun. Tetap saja menurutnya Ayah Calvin tak berguna.

"Ayah nggak pernah main di luar sama aku. Ayah nggak pernah temenin aku study tour, naik gunung, traveling, dan berenang."

Cacian Silvi terhadap Calvin membuat Adica terenyak. Ia sedih mendengar kakak kembarnya dijelek-jelekkan oleh anaknya sendiri.

"Apakah rasa sayang seorang ayah hanya bisa dibuktikan dari kegiatan di luar rumah?" tanya Adica diplomatis. Sukses membuat Silvi bungkam.

"Ayah beda dengan Papa. Tiap orang punya peran. Kalau Silvi sudah besar, Silvi akan mengerti."

"Nggak! Pokoknya Ayah nggak berguna! Ayah nggak pernah ajak Silvi keluar rumah!"

Dengan satu teriakan, Silvi berlari ke lantai atas. Adica menggelengkan kepala dengan frustrasi. Keras kepala, batinnya.

**   

Senja begitu cantik melatari langit. Siluetnya merah-jingga bersaput emas. Kecantikan senja memanjakan pandangan mata Calvin. Sayang sekali, transformasi sore menuju malam tak terlalu baik untuk kesehatannya.

Gerakan tangannya mengetikkan draf naskah buku terhenti. Calvin terbatuk. Rasa sakit menjalar dari dada turun ke punggungnya.

"Calvin, nulisnya lanjut di dalam yuk. Di sini hawanya dingin."

Adica mendekat ditingkahi langkah tergesa. Lembut tapi tegas, diambilnya laptop dari pangkuan Calvin. Digandengnya tangan kembarannya masuk ke rumah.

Ratusan karyawan di jaringan toko retailnya mungkin akan berkerut kening kalau melihat pemandangan ini. Bagaimana tidak, direktur utama yang lekat dengan image tegas, di rumah menjadi begitu hangat dan perhatian pada keluarganya. Lihatlah, Adica sendiri yang menyiapkan obat untuk diminum Calvin.

"Adica," Calvin mulai bicara setelah meminum obatnya.

"Ya?"

"Aku ingin sehat. Aku ingin seperti kamu yang bisa pergi kemana-mana bersama Silvi."

Adica mendesah. Ia menduga Calvin tahu tentang ujaran yang dilontarkan Silvi tempo hari.

"Jangan dimasukkan ke hati. Silvi belum tahu betapa kamu menyayanginya." hibur Adica.

Calvin menengadah. Menatap Adica dengan mata berembun.

"Aku mencintai Silvi...sangat mencintainya."

"Aku tahu. By the way, minggu depan aku ke Singapore. Kamu jaga Silvi ya."

Sejurus kemudian, Calvin mengeluarkan sebentuk kartu. Diletakkannya ATM itu ke telapak tangan Adica.

"Di sini ada 3,3 Milyar. Alokasikan untuk asuransi pendidikan Silvi. Kelak dia bebas memilih mau melanjutkan sekolah dan kuliah dimana saja, sampai jenjang setinggi mungkin. Aku ingin kamu menyimpannya."

**   

Minggu berikutnya, Calvin membangunkan Silvi. Dimandikannya anak cantik itu. Dipakaikannya seragam sekolah, dikuncirkannya rambut Silvi, dan diperiksanya tas sekolah Silvi. Memastikan putri tunggalnya telah mengerjakan semua PR dan membawa buku pelajarannya.

Silvi berlari mencari cermin. Dia memandangi bayangannya di cermin sambil meraba-raba kunciran rambutnya. Diakuinya kalau ikatan rambut yang dibuat sang ayah lebih rapi tinimbang buatan Papa.

"Sayangku, sarapan dulu ya, sebelum ke sekolah. Ayah..."

"Nggak mau! Silvi mau makan di sekolah aja!" tolak Silvi ketus.

"Tapi Sayang..."

Tanpa mendengarkan Ayahnya, Silvi berlalu. Deru mobil terdengar beberapa menit berselang. Calvin menatap masygul pai buah yang tersaji cantik di meja makan. Silvi tak mau menyentuhnya sepotong pun.

Jam demi jam berlalu. Sepanjang hari ini, Calvin resah. Firasatnya mengatakan, Silvi tak baik-baik saja. Ditanyainya supir yang mengantar Silvi tadi pagi. Kata supirnya, Silvi tiba di sekolah tanpa kurang suatu apa pun. Keterangan si supir tak melegakan perasaan Calvin. Intuisinya sebagai ayah sulit percaya.

Dan...benar saja.

Dua jam sebelum waktu pulang sekolah, Silvi berlari menaiki tangga pualam. Rambutnya basah. Baju seragamnya kusut. Nampaknya ia berlari menerabas hujan di luar.

"Ayah..."

Silvi rebah di pelukan Calvin. Ia menangis keras-keras. Calvin merengkuhnya erat.

"Kenapa, Silvi Sayang? Cerita sama Ayah..."

"Anak-anak di sekolah sebelah mengejek mata Silvi. Katanya, mata Silvi seperti hantu."

Hati Calvin terpagut sedih. Kenapa anak-anak telah diajarkan untuk mengejek teman sebayanya? Tidak, tidak ada yang salah dengan mata biru Silvi. Mata Silvi berwarna biru, cantik sekali. Sayangnya, Calvin tak sepintar Adica dalam berbicara. Alhasil ia hanya mendaratkan ciuman hangatnya di kening Silvi.

**   

"Astaga...Calvin, kamu ngapain di sini?"

Betapa kaget Adica mendapati Calvin mengenakan jas kesayangannya. Ia juga menenteng soft case berisi laptop dan berkas.

"Biarkan aku bertukar tempat denganmu beberapa hari saja," kata Calvin tenang.

Adica melipat dahi, "Bertukar tempat? Tidak bisa, Yang Mulia Komisaris Utama. Aku Dirut, kamu owner. Lagian, kamu jaga Silvi aja di rumah."

Calvin menggeleng tegas. Ia ingin sibuk di kantor seperti Adica. Ia ingin dirinya sedikit lebih berguna di mata Silvi. Terpaksa Adica mengalah. Kalau dipikir-pikir, ia hidup seatap dengan dua orang keras kepala.

"Ok. Aku jadi kamu, dan kamu jadi aku. Ayo pergi."

"Tunggu. Kamu berikan ini pada Silvi."

Seraya berkata begitu, Calvin menyodorkan segelas susu coklat ke tangan Adica. Si adik kembar tertawa. Penyamaran mereka akan lebih meyakinkan.

"Dan aku akan berpamitan ke kantor pada anak angkat kita."

Mereka berdua menuju kamar Silvi. Susah payah Adica mengatur ekspresi wajahnya agar lebih lembut dan meneduhkan, persis raut muka Calvin. Sementara itu, Calvin meniru dengan sempurna langkah tegap dan sorot mata tegas Adica.

"S...Sayangku, bangun ya. Sudah pagi." Adica tergagap, tak biasa memanggil Silvi dengan sebutan itu.

Silvi menggeliat. Ditatapnya kedua ayah kembarnya dengan mata meredup dan pillow face.

"Hari ini libur, Ayah. Silvi mau tidur lagi."

"Nggak boleh," sergah Adica cepat. Spontan Calvin menyikutnya, berbisik mengingatkan.

"Ayah Calvin tidak segalak itu, Papa Adica."

"Oh iya..."

"Papa sama Ayah ngapain sih? Silvi mau tidur lagi ah." Silvi bergumam mengantuk, bersiap memejamkan mata.

Calvin menggunakan suara bernada tegasnya untuk membangunkan Silvi. Silvi, yang mengira Calvin sebagai Adica, akhirnya menurut. Ia bangun, menghabiskan susu coklatnya, lalu menyusul langkah Papa dan Ayahnya ke lantai bawah.

Di teras depan, Calvin berpamitan. Ia meminta Silvi untuk menemani Adica selama jam kantor. Silvi mengangguk patuh. Saat Calvin akan menutup pintu mobilnya, Silvi tersadar.

"Lho, kok Papa pakai mobilnya Ayah?"

O-ow, mereka lupa begitu detailnya Silvi. Untunglah si kembar cepat menguasai situasi. Adica berpaling, lalu berpura-pura batuk. Dia berakting persis seperti Calvin. Buru-buru Silvi meraih tangan Adica, mengajaknya masuk. Calvin tersenyum puas sebelum melajukan mobilnya.

Seharian itu, Adica dan Calvin bertukar tempat. Calvin memimpin rapat, brieffing dengan general manager terkait target tahun ini, dan bertemu klien. Adica menemani Silvi di rumah. Ia memasakkan cream soup untuk Silvi, yang hasilnya tidak terlalu enak dan membuat Silvi curiga. Demi menguatkan penyamaran, ia pun bermain piano dan mengerjakan sesuatu di laptopnya.

"Ayah, udah waktunya minum obat. Ini obatnya."

Silvi melangkah anggun menghampiri Adica. Ia meletakkan baki hitam kecil berisi beberapa pil obat dan segelas besar air putih. Adica menatap enggan obat-obatan itu. Haruskah ia meminumnya?

Ternyata bertukar tempat itu tak enak. Adica bosan. Ia terbiasa berada di kantor. Seharian di rumah membuatnya terpenjara.

Silvi merasakan keanehan. Hatinya hampa. Pria yang ditemaninya di rumah serasa bukan Ayah Calvin. Entah mengapa, Silvi merindukan Calvin. Perasaannya tak tenang. Jauh dari Calvin rupanya menghapus ketenangan Silvi.

Semula penyamaran ini berjalan lancar. Hingga sore menjelang, Adica mendapat kabar buruk. Calvin jatuh pingsan setelah brieffing dengan general manager.

"Apa? Jadi...Papa dan Ayah bertukar tempat?" tanya Silvi kaget dan sedih.

"Iya. Ayah yang memintanya. Dia ingin terlihat seperti kebanyakan ayah yang bekerja di luar rumah."

Air mata bergulir ke pipi Silvi. Ia memaksa ikut Adica ke rumah sakit. Tiba di ruang rawat, Silvi menggenggam tangan Calvin erat. Dipeluknya ayah yang dirindukannya sepanjang hari ini.

"Ayah, Silvi mau Ayah. Silvi lebih tenang kalau Ayah ada di rumah. Silvi lebih suka Ayah yang ada di rumah dari pada Papa yang super sibuk."

Waktu sangatlah berharga di mata Silvi. Waktu berkualitas yang diberikan seorang ayah penyayang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun