"Ayah nggak pernah main di luar sama aku. Ayah nggak pernah temenin aku study tour, naik gunung, traveling, dan berenang."
Cacian Silvi terhadap Calvin membuat Adica terenyak. Ia sedih mendengar kakak kembarnya dijelek-jelekkan oleh anaknya sendiri.
"Apakah rasa sayang seorang ayah hanya bisa dibuktikan dari kegiatan di luar rumah?" tanya Adica diplomatis. Sukses membuat Silvi bungkam.
"Ayah beda dengan Papa. Tiap orang punya peran. Kalau Silvi sudah besar, Silvi akan mengerti."
"Nggak! Pokoknya Ayah nggak berguna! Ayah nggak pernah ajak Silvi keluar rumah!"
Dengan satu teriakan, Silvi berlari ke lantai atas. Adica menggelengkan kepala dengan frustrasi. Keras kepala, batinnya.
** Â Â
Senja begitu cantik melatari langit. Siluetnya merah-jingga bersaput emas. Kecantikan senja memanjakan pandangan mata Calvin. Sayang sekali, transformasi sore menuju malam tak terlalu baik untuk kesehatannya.
Gerakan tangannya mengetikkan draf naskah buku terhenti. Calvin terbatuk. Rasa sakit menjalar dari dada turun ke punggungnya.
"Calvin, nulisnya lanjut di dalam yuk. Di sini hawanya dingin."
Adica mendekat ditingkahi langkah tergesa. Lembut tapi tegas, diambilnya laptop dari pangkuan Calvin. Digandengnya tangan kembarannya masuk ke rumah.