** Â Â
Minggu berikutnya, Calvin membangunkan Silvi. Dimandikannya anak cantik itu. Dipakaikannya seragam sekolah, dikuncirkannya rambut Silvi, dan diperiksanya tas sekolah Silvi. Memastikan putri tunggalnya telah mengerjakan semua PR dan membawa buku pelajarannya.
Silvi berlari mencari cermin. Dia memandangi bayangannya di cermin sambil meraba-raba kunciran rambutnya. Diakuinya kalau ikatan rambut yang dibuat sang ayah lebih rapi tinimbang buatan Papa.
"Sayangku, sarapan dulu ya, sebelum ke sekolah. Ayah..."
"Nggak mau! Silvi mau makan di sekolah aja!" tolak Silvi ketus.
"Tapi Sayang..."
Tanpa mendengarkan Ayahnya, Silvi berlalu. Deru mobil terdengar beberapa menit berselang. Calvin menatap masygul pai buah yang tersaji cantik di meja makan. Silvi tak mau menyentuhnya sepotong pun.
Jam demi jam berlalu. Sepanjang hari ini, Calvin resah. Firasatnya mengatakan, Silvi tak baik-baik saja. Ditanyainya supir yang mengantar Silvi tadi pagi. Kata supirnya, Silvi tiba di sekolah tanpa kurang suatu apa pun. Keterangan si supir tak melegakan perasaan Calvin. Intuisinya sebagai ayah sulit percaya.
Dan...benar saja.
Dua jam sebelum waktu pulang sekolah, Silvi berlari menaiki tangga pualam. Rambutnya basah. Baju seragamnya kusut. Nampaknya ia berlari menerabas hujan di luar.
"Ayah..."