Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Malaikat, Lily, Cattleya] Calon Istri untuk Revan

2 November 2019   06:00 Diperbarui: 2 November 2019   06:12 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Calon Istri Untuk Revan

Reinhard membanting wadah sereal yang telah kosong. Rinjani menatapnya marah.

"Lihat ini! Kosong! Habis semua! Gara-gara siapa coba?" geram Reinhard.

"Siapa lagi kalau bukan si blonde pengacau itu!"


Sepasang suami-istri itu bertukar pandang sebal. Revan telah menghabiskan jatah sereal mereka selama sebulan. Bagi pelaku rumah tangga super hemat mendekati pelit, tentu ini menjadi masalah besar.

"Gila! Si Revan tinggi langsing gitu makannya barbar juga!"

Rinjani mencibir. "Makanan sebanyak itu, larinya ke gym. Pantesan bodynya tetap bagus."

Pagi di rumah Reinhard-Rinjani malah diisi gosip tak penting seputar tetangga ajaib mereka. Mungkin mereka akan terus bicara buruk tentang Revan andai tak terdengar bel pintu. Reinhard berjalan malas ke ruang depan. Berniat mengintip dulu sebelum membuka pintu.

Apakah Revan kembali? Masih belum puaskah ia menghabiskan jatah sereal untuk sebulan? Ternyata yang datang bukan Revan, tetapi Calvin. Kemarahan di wajah Reinhard berganti senyuman.

"Hai Rein," Calvin melontarkan sapa, ramah sekali.

"Hai, masuk yuk."

"Sorry, aku nggak bisa lama-lama. Cuma mau balikin anjingmu. Dia lucu banget ya. Tadi dia main-main ke halaman rumahku. Aku kasih dia makan, trus aku balikin ke sini."

Spontan Reinhard berlari ke halaman. Anjing kesayangannya tampak jinak dan ceria. Sisa-sisa makanan bertebaran. Nampaknya anjing itu senang selama bersama Calvin.

"Makasih ya," kata Reinhard berterima kasih.

"Sama-sama."

"Makasih banyak..."

Calvin menyimpan tanya. Mengapa Reinhard sebegitu berterima kasihnya? Apa yang dia lakukan kecil saja. Mungkin Calvin lupa. Sesuatu yang kecil, bisa menjadi sangat berarti di mata orang lain.

"Semua tetangga kita nggak suka anjing. Mereka terlanjur terpengaruh doktrin kalau anjing itu hewan najis. Makanya mereka paling nggak suka kalau anjingku kulepas ke halaman rumah mereka. Anjingku pernah dilempari batu, diracun, dan dibuang ke jalan. Kamu...kamu tetanggaku yang paling pengertian, Calvin."

Lagi-lagi soal doktrin. Doktrin menampakkan taring tajamnya. Bukan hanya manusia yang menjadi korban, tetapi makhluk hidup lainnya. Calvin iba mendengar cerita Reinhard.

"Anjing makhluk Tuhan juga. Kalau ada aturan agama yang mengharamkan, bukan berarti dia harus disakiti." kata Calvin bijak.

Reinhard mengangguk setuju. Sejuk hatinya tiap kali berbicara dengan tetangga baru ini. Tak lama, Calvin pamit pulang. Dalam hati Reinhard tak ingin Calvin pergi. Dia masih ingin bicara banyak hal dengan pria itu.

"Siapa yang datang? Revan lagi?" tuntut Rinjani setelah Reinhard kembali ke dalam rumah.

"Bukan Revan, tapi Calvin."

Pandangan mata Rinjani menerawang. Ia memikirkan cara untuk memberi pelajaran pada Revan. Reinhard membaca pikiran istrinya. Alih-alih membantu, dia malah bernyanyi.

Jangan kau ganggu hidupku lagi

Sudah jelas kini yang kau mau

Kau sakiti hati ini

Tuk kesekian kali

Memang ku cinta

Namun tak begini

Dimana arti sebuah kesetiaan

Bila hanya dalam kata-kata

Ku coba untuk bertahan

Namun aku tak sanggup

Sungguh tak mampu sayangku

Terserah kali ini

Sungguh aku tak 'kan perduli

Ku tak sanggup lagi

Jalani cinta denganmu

Biarkan ku sendiri

Tanpa bayang-bayangmu lagi

Ku tak sanggup lagi

Mulai kini s'mua terserah

Dimana arti sebuah kesetiaan

Bila hanya dalam kata-kata

Ku coba untuk bertahan

Namun aku tak sanggup

Sungguh tak mampu sayangku

Terserah

Ku tak sanggup lagi

Jalani cinta denganmu

Ku sendiri

(Tanpa bayang-bayangmu lagi)

Tanpa bayang-bayangmu

Ku tak sanggup lagi

Mulai kini semua

Terserah (Glenn Fredly-Terserah).

"Yeee terserah terserah! Kalau terserah Revan, jatah makan kita sebulan dirampok sama dia!" ketus Rinjani.

Tetiba Reinhard menepuk dahi. Sebentuk ide berpijar di kepalanya. Dibisikkannya ide itu pada Rinjani.

**   

Keesokan paginya, Reinhard mendatangi rumah Revan. Diundangnya pria penyuka warna biru itu untuk sarapan bersama. Revan senang sekaligus bertanya-tanya.

Tak biasanya Reinhard berinisiatif mengajaknya sarapan bersama. Ia tidak akan heran bila undangan datang dari Calvin, Abi Assegaf, Alea, atau Adica. Mereka memang murah hati. Berbanding terbalik dengan Reinhard-Rinjani yang super hemat mendekati pelit.

"Tumben ajakin aku sarapan." komentar Revan saat mereka berjalan menuju rumah.

"Memangnya nggak boleh? Bukannya kamu senang diajak sarapan bareng?" balas Reinhard.

"Iya. Cuma heran aja. Kamu dan istrimu kan pelit."

Reinhard cemberut. Sikap kritis Revan pastilah membuatnya curiga.

Tiba di rumah, Rinjani menyambut Revan ramah. Ia menghentikan sejenak kesibukan upload foto di toko onlinenya. Revan makin bingung mendapati sambutan tidak biasa ini. Ia menolak lupa. Lupa kalau dirinya pernah diusir oleh pasangan suami-istri ini.

"Mau bubur, roti, atau mie?" tawar Rinjani.

Tak salahkah penglihatannya? Di meja makan, tersaji tiga menu sarapan: roti panggang berlapis mentega, bubur, dan mie goreng. Sangat, sangat di luar kebiasaan Reinhard-Rinjani. Mereka tak cukup royal untuk menyediakan lebih dari satu menu.

"Cobain semuanya boleh kan?" Revan mengedip nakal, ingin mengetes mereka.

"Boleh dong."

Ganjil, ganjil sekali. Dicobanya berpikir positif. Revan pun menyantap sarapannya. Sementara itu, Reinhard membuatkan kopi.

Mengapa buburnya terasa sedikit aneh? Agak pahit di luar, tetapi manis di dalam. Ah, mungkin hanya perasaan Revan saja. Mengapa pula Reinhard dan Rinjani tidak ikut makan?

"Oh, kami udah kenyang. Kami tadi sarapan sereal." Reinhard menjawab kebingungan tetangga bulenya.

"I see. Jadi, boleh aku habisin nih?"

"Boleh banget."

Senyum mereka, nada ceria mereka, bukan sesuatu yang mencurigakan. Gesture mereka begitu meyakinkan. Keraguan Revan lesap. Ia menyikat tiga menu itu sampai tandas.

"Yes! Yes! Kita berhasil!" Reinhard dan Rinjani bersorak kegirangan setelah Revan pergi.

"Mulai besok, dia nggak bakal minta sarapan di sini lagi!"

"Hmmm...memang merepotkan ya, berurusan sama tetangga ajaib kayak gitu."

Siangnya, mereka ditelepon Abi Assegaf. Revan pingsan saat mengajar. Ia dilarikan ke rumah sakit terdekat. Para tetangga segera menyusul ke sana. Sesaat Reinhard dan Rinjani bimbang. Haruskah mereka ikut menjenguk Revan?

Kebimbangan mereka bertambah besar saat grup Whatsapp penghuni kompleks menampilkan chat bertubi-tubi. Banyak tetangga yang menandai mereka, menyuruh keduanya cepat menyusul ke rumah sakit. Dengan berbagai pertimbangan, mereka pun bergegas menuju rumah sakit.

Betapa kagetnya mereka melihat Revan terbaring di ranjang putih dengan wajah pucat dan tangan terbalut selang infus. Setelah siuman, pria Minahasa-Portugis itu muntah-muntah. Keracunan makanan, begitu kata dokter.

"What? Keracunan?" Reinhard dan Rinjani pura-pura kaget.

Sepasang mata sipit menatap mereka nanar. Tak salah lagi, itu mata Calvin. Mestinya Reinhard dan Rinjani lebih hati-hati. Calvin mempunyai feeling yang kuat.

"Aku merasakan kepura-puraan di sini," ucap Calvin perlahan.

"Apa maksudmu?" tanya Jose.

Calvin maju ke kaki ranjang. Digenggamnya tangan Revan sambil bertanya.

"Revan, tadi kamu sarapan sama siapa?"

"Reinhard dan Rinjani."

Ah, dugaannya benar. Sekali lagi Calvin menatap tajam Reinhard dan Rinjani. Yang ditatap mulai merasa insecured.

"Oh, I know!" seru Rossie seraya menepuk keningnya. Mereka semua memandangnya tak mengerti.

"Ingat kan, apa kata dokter? Revan bisa begini karena makan makanan kadaluwarsa dan sisa masker."

Wajah Reinhard dan Rinjani sepucat tembok. Berpasang-pasang mata menusuk mereka. Ada kemarahan terselubung dan menuntut pertanggungjawaban dalam tatapan itu.

"Kenapa sisa masker pembersih wajah bisa ada dalam menu sarapan, Rein?" tanya Calvin lembut.

"Bukan...bukan aku, itu maskernya Rinjani."

"Enak aja! Idenya dari kamu!"

Mereka saling menyalahkan. Abi Assegaf dan Ummi Adeline menengahi. Revan kini mengerti penyebab semua keganjilan tadi pagi. Hatinya sedih, marah, bercampur tak percaya.

"Kalian mau menyusul Jessica pembunuhnya Mirna ke penjara?" tanya Jose sinis.

"Nggaklah...kami kesal soalnya jatah sereal kami dihabisin sama Revan."

Pembelaan Reinhard menguatkan fakta kalau dia dan istrinya memang kelewat perhitungan. Para tetangga tak habis pikir dengan taktik licik mereka. Sisa hari itu berlangsung dalam kerumitan. Beruntung Revan bersedia masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan. Reinhard dan Rinjani harus menanggung biaya perawatan sebagai kompensasi.

"Kamu tega banget, Rein. Tetangga sendiri diracun..." Adica masih belum puas menyesalkan perbuatan Reinhard.

"Biar si mata biru jera, dan nggak sarapan lagi di rumahku. Ngabis-abisin jatah aja."

"Bilang baik-baik kan bisa."

"Dia harus diberi pelajaran."

"Ehm..."

Rossie bergegas ke sisi suaminya. Memegang halus tangan Adica.

"Rein, Adica, masalah bisa dibereskan dengan cara halus. Dari pada Revan diracuni, mendingan dicariin calon istri."

**   

Ide cemerlang Rossie segera dieksekusi. Para tetangga mulai mencarikan calon pendamping hidup untuk Revan. Mendadak mereka sibuk menghubungi teman-teman wanita yang masih single.

Opsi pertama datang dari Jose. Dia ingin memperkenalkan Revan pada Nindy, editor bukunya. Nindy seorang wanita cerdas berdarah campuran Indonesia-Belanda. Tanpa membuang waktu, Jose mengatur perkenalan Revan dan Nindy di acara peluncuran bukunya yang terbaru.

"Nindya Van Willhelm." Wanita berambut sebahu itu mengulurkan tangan.

Revan menerimanya dengan ragu. Ia bergidik saat Nindya menjabat tangannya kuat sekali. Seolah wanita itu hendak meremuk jarinya.

Ketegasan Nindy membantai naskah terbawa dalam keseharian. Sebulan berhubungan dengan Nindy, Revan tak tahan. Nindy mengkritik jas yang dipakainya, caranya mengajar mahasiswa, kebiasaannya meminta sarapan di rumah tetangga, dan gaya rambutnya. Parahnya, ternyata Nindy tidak bisa memasak. Revan kesulitan mendapat kemistri dengannya.

Opsi kedua dipilihkan Calvin. Dia memperkenalkan sepupu cantiknya. Calvin mengatur agar perkenalan terjadi seakan kebetulan semata. Revan dan sepupu Calvin bertemu di toko buku.

"Paulina," kata gadis itu, tersenyum manis.

"Revan. Thanks ya, kamu udah ambilin buku-bukuku yang jatuh."

Perkenalan berjalan lancar. Revan dan Paulina sama-sama mendapat kesan baik.

Tapi...

Apakah semuanya mulus? Nyatanya tidak. Paulina memang cantik dan ramah, tetapi dia sangat sibuk. Pekerjaannya sebagai peneliti utama di lembaga penelitian dan pengembangan membuat waktunya tersita. Jangankan memasak untuk Revan, sekedar menjalin komunikasi dengannya pun tak sempat. Paulina seakan bekerja 24 jam sehari, tujuh hari seminggu. Gugurlah pilihan kedua.

"Sabar, Revan. Kamu pasti menemukan belahan jiwa kalau sudah waktunya." hibur Rossie.

Revan hanya diam. Pandangannya berubah sendu. Ia pernah gagal menikah. Rumah tangganya yang ia bangun bersama seorang editor majalah fashion, hancur berantakan. Persoalannya klasik: minim komunikasi dan kebersamaan.

"Ah, gini aja. Aku kenalin kamu sama chef yang ngajar aku di sekolah masak ya? Namanya Chef Mutiara. Dia adikku."

Dan...dimulailah perkenalan itu. Revan sengaja ikut kelas memasak yang dipegang Chef Mutiara. Kemajuannya pesat sekali. Dalam waktu singkat, Revan mampu mengolah menu makanan dari berbagai negara. Bintang baru di kelasnya menarik perhatian Chef Mutiara. Guru dan murid di kelas memasak itu pun mulai dekat.

"Yes yes yes! Kayaknya sukses nih! Istriku memang hebat! Love you..." Adica memuji Rossie.

"Ow...ini belum seberapa. Tunggu sampai Revan melamar Chef Mutiara. Love you too."

Prediksi Adica tak meleset. Hubungan Revan dan Chef Mutiara berlanjut ke jenjang lebih serius empat bulan kemudian. Ketika Revan ingin menjadikan Chef Mutiara sebagai kekasihnya, wanita berwajah lembut itu menolak. Chef Mutiara tidak ingin pacaran lagi, tetapi ingin segera menikah.

Voilet, bunga-bunga cinta bersemi. Revan segera menyiapkan semuanya tanpa menunda lagi. Pernikahan antara Revan Tendean dan Chef Mutiara pun terjadi. Seluruh penghuni kompleks menjadi saksi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun