"I feel sorry for you."
Reinhard bersyukur telah datang ke rumah yang tepat. Bayangkan kalau ia curhat pada tetangga ajaibnya yang lain. Jose hanya akan mengangguk dengan wajah dingin sambil menanggapi pendek-pendek. Bukannya mendengarkan, Revan pastilah meminta sarapan bersama. Adica dan Rossie bakal memaksanya mencicipi masakan mereka yang gagal untuk kesekian kali. Calvin, Calvinlah yang membuatnya tenang.
Sambil menunggu MacBooknya booting, Calvin menyeduhkan coklat panas untuk Reinhard. Ia pendengar yang baik. Calvin menyediakan dirinya untuk mendengarkan, bukan mengomeli.
"Kalau bisa tetap sehat, mengapa harus sakit Rein?" Calvin menanggapi, lembut.
"Memangnya aku tidak boleh sakit? Biar Rinjani memperhatikanku..."
"Ada ribuan cara untuk menarik perhatian orang lain. Sakit bukanlah salah satunya..."
Kalimatnya terpotong. Sakit itu datang lagi. Mengganas, menggerogoti, menuntut diperhatikan.
"Hei, kamu kenapa?" tanya Reinhard khawatir.
Calvin terbatuk. Darah segar mengalir dari sudut bibir dan hidungnya. Tertatih ia meninggalkan ruang tamu. Reinhard lekat mengikuti.
Lutut Reinhard lemas melihat apa yang terjadi. Calvin membuka keran wastafel. Ia muntah darah. Wastafel putih itu berubah kemerahan. Setelah memuntahkan darah, Calvin jatuh pingsan.
**