Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Kado Terindah] Malaikat Baik Hati

8 Oktober 2019   06:00 Diperbarui: 8 Oktober 2019   06:00 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malaikat Baik Hati

Hampir tiga malam berlalu sejak terakhir kali Ayah Calvin menemaninya. Alih-alih Ayahnya, selama tiga hari ini Sivia ditemani Paman Revan yang bermata biru dan Paman Adica yang berparas oriental mirip sang ayah. Kedua sahabat Ayahnya itu sangat baik. Namun, tak ada yang memahami Sivia sebaik Ayah Calvin memahaminya.


"Anak cantik, kok belum ganti piyama? Udah jam sembilan...jangan tidur kemalaman." Paman Revan berkata lembut. Pria berambut pirang itu meraih tangan Sivia, menuntunnya meninggalkan balkon.

"Sivia kangen Ayah." ucap Sivia datar. Mata biru pucatnya terhujam menusuk langit malam.

"Ayahmu akan pulang, anak nakalku sayang. Palingan dia lagi honeymoon sama Bunda Alea." timpal Paman Adica.

Kening Sivia berkerut. "Apa itu honeymoon?"

Ups, Paman Adica keceplosan. Anak sekecil Sivia harusnya belum boleh tahu. Paman Revan melempar pandang menyalahkan ke arahnya.

"Honeymoon itu...semacam liburan."

"Liburan? Kok Sivia nggak boleh ikut?"

"Liburan khusus orang dewasa. Sivia kan masih kecil."

Penjelasan kedua paman ganteng di kanan-kirinya memuaskan. Dengan lesu, Sivia kembali ke kamarnya. Dia ragu Ayah Calvin honeymoon dengan Bunda Alea. Ayah Calvin takkan tega meninggalkannya sendirian hanya untuk bersenang-senang. Pasti ada sesuatu.

Sivia mengganti gaun rumah berbordir emasnya dengan piyama berwarna soft pink. Dioleskannya body lotion. Biasanya, Ayah Calvin yang membantunya berpakaian dan memakai lotion sebelum tidur. Ia merebahkan diri ke ranjang queen size. Nanar ditatapnya pigura-pigura foto di dinding kamar. Semuanya berisi potret sang ayah. Sivia sayang sekali dengan sang ayah. Sampai-sampai ia melepas wallpaper dan gambar-gambar Disney Princess yang dipasang Bunda Alea, lalu menggantinya dengan semua potret diri Ayahnya. Ayahku tampan, Sivia membatin rindu.

Ia layak berbangga. Ayah Calvin paling tampan dibanding seluruh ayah teman-temannya. Beberapa ibu wali murid dan ibu guru yang tidak sadar sudah punya suami, masih melirik Ayahnya. Beberapa kakak kelas Sivia di Junior High School dan Senior High School dalam yayasan yang sama, naksir Ayah Calvin. Wajar sih, Ayah Calvin Wan lebih cocok jadi model atau bintang film ketimbang pemerhati ekonomi dan teknologi.

Tapi...

Ayahnya yang tampan kini tak ada. Rumah besar bertingkat tiga itu kian sepi. Sivia rindu, rindu didekap Ayahnya. Gadis kecil sembilan tahun itu makin yakin, Ayahnya bukan pergi honeymoon. Diingatnya malam terakhir bersama Ayah Calvin.

**   

"Ayah sudah bangga sama kamu, Sayang. Kamu luar biasa, bisa membuat tiga novel dalam setahun." puji Ayah Calvin setulus hati.

"Jadi, tiga novel itu kado terindah buat Ayah?" tanya Sivia senang.

Ayah Calvin mengangguk. Kedua tangannya lembut mengoleskan lotion ke tangan dan kaki Sivia. Setelah mengatur suhu pendingin udara, Ayah Calvin naik ke ranjang dan memeluk Sivia. Dielus-elusnya rambut anak kesayangannya. Belaiannya turun perlahan, dari rambut lalu ke punggung.

"Tapi..." Ayah Calvin menggantung perkataannya sejenak.

"Tapi apa, Ayah?"

"Sebenarnya, ada kado lain yang diharapkan dari anak Ayah."

Keingintahuan Sivia bangkit. Ditatapnya mata sipit milik sang ayah lekat-lekat.

"Ayah ingin kamu berhenti..."

Sivia gagal mengetahui keinginan terbesar Ayah Calvin padanya. Sebelum permintaan itu terselesaikan, Ayah Calvin terbatuk. Darah segar mengalir dari hidungnya. Sivia menahan napas. Beberapa kali ia pernah melihat Ayahnya dalam kondisi seperti ini.

Pelukan terlepas. Sejurus kemudian, Ayah Calvin meninggalkan Sivia untuk muntah. Tangan mungil Sivia menutup telinganya. Tidak, Ayah Calvin hanya muntah karena kelelahan. Ayahnya akan baik-baik saja.

Bunda Alea mengetuk pintu kamar Sivia. Wanita cantik berambut panjang itu tersenyum hangat. Dibelainya rambut Sivia penuh sayang.

"Sivia, Bunda pinjam Ayah ya. Sebentar saja..." bujuknya.

"Bunda, Ayah sakit." jelas Sivia dengan suara bergetar.

"Ya. Ayah akan baik-baik saja. Tapi Bunda pinjam Ayah dulu, ok?"

Sebelum berpisah, Ayah Calvin mencium kening Sivia. Bunda Alea merengkuhnya. Sivia melambai sedih melepas kedua orang tuanya.

Malam berganti pagi. Sivia terbangun dengan hati memendam harap. Ia berharap Ayah-Bundanya sudah pulang. Namun...

"Selamat pagi, anak cantik."

"Anak nakalku sayang, lihat sarapan apa yang kubawakan untukmu. Blueberry pancake! Kamu pasti suka!"

Tubuh Sivia lunglai. Harapannya lindap. Kedua paman ganteng itulah yang membangunkannya.

**   

Brankar itu ditiduri sesosok pria berparas oriental dan bermata sipit. Tim medis mengelilingi tempat tidur, sigap memasangkan oksigen. Bunda Alea menggenggam erat tangan Ayah Calvin.

"Alea, aku mau pulang." pinta Ayah Calvin.

Bunda Alea menggeleng kuat, matanya berkaca-kaca. Betapa lemah suara suaminya. Helaan nafas Ayah Calvin yang memberat kian mengkhawatirkan. Padahal saturasi oksigen telah dinaikkan.

"Sivia butuh aku. Dia akan sedih dan mencari-cariku. Mana mungkin kutinggalkan dia sendirian?" ujar Ayah Calvin sedih.

Bunda Alea tidak salah pilih. Dalam keadaan sehat dan sakit, Ayah Calvin selalu saja memikirkan orang lain. Genggaman tangan Bunda Alea bertambah erat.

"Anak kita akan baik-baik saja."

"Bawa aku pulang, Alea. Aku hanya batuk darah, mimisan, dan sakit punggung."

Hanya? Mata Bunda Alea memerah dan sembap. Bisa-bisanya malaikat baik hati itu menganggap ringan rasa sakitnya setelah sekian lama.

"Baiklah," pungkas Ayah Calvin tetiba.

"Kalau kamu tidak mau mengantarku pulang, aku bisa pulang sendiri. Aku bahkan masih bisa lari!"

Ayah Calvin berusaha bangkit dari tempat tidur. Kondisinya melemah. Pemerhati ekonomi merangkap pengusaha dan penulis itu jatuh pingsan.

Sepuluh kilometer dari rumah sakit, tepatnya di rumah bertingkat tiga itu, Sivia mencelupkan kakinya ke kolam renang. Merasakan dinginnya air kolam menjilati kakinya. Kantuknya lenyap. Sebuah gunting kecil tergeletak di pangkuan. Gadis cantik itu memainkan gunting, melukai tangan kanannya.

Gunting bergeser ke tangan kiri. Sivia tersenyum puas ketika kedua tangannya terluka.

Semua pergi, pergi meninggalkannya.

Selamat tinggal malam yang indah.

Selamat datang kesepian.

Sivia kembali melukai diri karena merindu. Ketika kedua paman tampannya lengah, anak itu bisa melukai diri kapan saja.

"Ayah...Ayah dimana?" rintih Sivia sambil terisak.

"Aku nggak mau dibeliin kado apa-apa dari Ayah. Aku hanya ingin Ayah ada di sini."

Sivia bicara pada udara malam yang dingin. Ia melirik penuh harap ke pintu kaca. Berharap Ayah Calvin berdiri di sana, tersenyum padanya.

Kehadiran malaikat baik hati itu sudah menjadi kado terindah buatnya. Sivia takkan meminta apa-apa lagi. Ia juga penasaran dengan permintaan Ayah Calvin padanya. Ayah Calvin minta berhenti apa ya?

Apakah Ayah Calvin minta Sivia berhenti ngompol? Dia kan sudah berhenti setahun lalu. Atau berhenti menggigit-gigit boneka dan remote? Yang itu juga sudah lama tidak dilakukan.

Tak tahan dengan kesepian, Sivia beranjak masuk ke rumah. Kaki kecilnya terayun ke ruang tamu. Diempaskannya tubuh di kursi depan grand piano.

Ku tak percaya

Kau ada di sini

Menemaniku di saat dia pergi

Sungguh bahagia

Kau ada di sini

Menghapus semua

Sakit yang kurasa

Mungkinkah kau merasakan

Semua yang kupasrahkan

Tenanglah kasih

Kusuka dirinya

Mungkin aku sayang

Namun apakah mungkin

Kau menjadi milikku

Kau pernah menjadi

Menjadi miliknya

Namun salahkah aku

Bila kupendam rasa ini (Viera-Rasa Ini).

Sivia memendam keinginan. Keinginan agar Ayah Calvin segera pulang.

**  

Hari berikutnya, Ayah Calvin kembali ke rumah. Pria berbaju putih itu naik ke kamar Sivia.

Betapa kagetnya dia.

Robekan-robekan buku berserakan di lantai. Bungkus kosong keripik kentang, bagian tengah apel, tumpahan teh dingin, stik es krim, bunga lily pemberiannya yang telah mengering, dan patahan penggaris teronggok berantakan. Seprai bergambar Elsa Frozen tertarik lepas. Bantal penuh noda, entah noda apa.

"Ya, Tuhan, kenapa berantakan begini?" desah Ayah Calvin lelah. Dia membungkuk, membereskan kekacauan itu.

Dicari-carinya Sivia. Di kamar mandi, tidak ada. Pintu kedua dibukanya. Sivia terduduk di lantai balkon. Tangan dan kakinya luka-luka. Ayah Calvin berdiri menjulang di depannya, pucat dan sedih.

"Cuci lukamu," suruhnya.

Sivia bergeming.

"Cuci lukamu." ulang Ayah Calvin tajam.

Putri kesayangannya mematung.

"Sivia Aisha Calvin, cuci lukamu!"

Sedetik kemudian, Sivia menghambur ke pelukan Ayah Calvin. Sang ayah menggendongnya ke kamar. Dibersihkannya luka-luka Sivvia dengan alkohol. Diobatinya luka demi luka, lalu ditutupnya dengan perban putih.

"Kenapa kamu lakukan itu, Sayangku?" tanya Ayah Calvin sedih.

"Kalau Ayah nggak ada, Sivia berantakan."

"Sekarang Ayah sudah kembali. Boleh Ayah minta kado sama Sivia?"

Anak cantik itu mengangguk. Kehadiran orang terkasih lebih berharga dari kado yang bisa dibeli dengan uang.

"Ayah ingin kamu berhenti melukai diri. Mau, kan?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun