Jose dan Arini
"Arini...bangun, Sayang. Hari ini sekolah, kan?"
Jose membangunkan Arini. Dengan sabar, ia menunggu anak tunggalnya mengumpulkan nyawa. Arini menggeliat pelan, meraih lengan Ayahnya, lalu mendekapnya.
"Ayah...Arini nggak mau sekolah. Arini mau di sini aja sama Ayah." rajuknya.
"Lho, jangan dong. Nanti Arini ketinggalan pelajaran." Cegah Jose halus.
Arini menyibak rambutnya. "Nggak ah, Arini mau di rumah aja. Lagian, hari ini kan Daddy mau pindahan."
Seberkas pemahaman melintas di kepala Jose. Pria kelahiran 14 Desember itu mengelus rambut Arini.
"So, Arini mau ketemu Daddy atau mau sama Ayah?"
"Dua-duanya."
Lama Jose membujuk Arini agar mau sekolah. Diyakinkannya Arini kalau dia bisa berkumpul lagi dengan Ayah dan Daddynya sepulang sekolah nanti. Arini pun terbujuk. Ia bergegas mandi dan mengenakan seragamnya.
Di ruang makan, Jose telah menunggu. Tak ada Alea. Hari ini jadwalnya Alea me time sebulan sekali dengan teman-teman sesama mantan finalis gadis sampul. Jose tahu itu. Ia tak melarang. Dianggapnya Alea sedang mencharge baterai sebelum dipakai lagi selama sebulan ke depan.
"Ayah, ini apa?" tunjuk Arini ke arah sepiring nasi goreng omelet yang tak jelas bentuknya.
"Itu masakan buatan Ayah, khusus buat Arini. Cobain ya, Sayang."
Arini meraih sendok. Dia menyuapkan nasi goreng omelet ke dalam mulutnya. Rasanya sungguh tidak enak. Anak yang baik akan selalu menghargai pemberian orang tuanya. Arini memaksakan diri menikmati masakan Ayahnya.
"Gimana rasanya? Enak?" tanya Jose harap-harap cemas.
"Enak. Ayah, Arini boleh minta air nggak? Arini mau minum dulu..." jawab gadis kecil itu serak.
Ayah dan anak itu sama-sama tahu. Masakan yang jauh dari kata enak dihargai demi cinta kasih. Karena cinta, Arini bisa menyantap masakan Ayahnya sampai habis.
Jose tahu diri. Tidak ada bakat seorang chef dalam dirinya. Dia bukanlah Calvin yang pintar mengolah bahan makanan apa saja menjadi masakan lezat. Nalurinya adalah traveler dan penulis, bukannya naluri koki.
"Maaf ya, Sayang. Ayah memang kalah jauh sama Daddy."
Arini membelai tangan Jose. Dia bangkit, meraih tasnya, lalu mendorong kursi roda Jose ke ruang tamu. Di ruang tamu, Jose meminta Arini berhenti sebentar. Posisi mereka tepat di samping piano.
Kain beludru pelapis piano terbuka. Jose bermain piano. Ia menyanyikan lagu, mata sipitnya tak lepas memandangi wajah cantik Arini.
Waktu pertama kali
Kulihat dirimu hadir
Rasa hati ini inginkan dirimu
Hati tenang mendengar
Suara indah menyapa
Geloranya hati ini tak kusangka
Rasa ini tak tertahan
Hati ini selalu untukmu
Terimalah lagu ini
Dari orang biasa
Tapi cintaku padamu luar biasa
Aku tak punya bunga
Aku tak punya harta
Yang kupunya hanyalah hati yang setia
Tulus padamu
Hari-hari berganti
Kini cinta pun hadir
Melihatmu, memandangmu bagai bidadari
Lentik indah matamu
Manis senyum bibirmu
Hitam panjang rambutmu anggun terikat
Rasa ini tak tertahan
Hati ini selalu untukmu
Terimalah lagu ini
Dari orang biasa
Tapi cintaku padamu luar biasa
Aku tak punya bunga
Aku tak punya harta
Yang kupunya hanyalah hati yang setia
Tulus padamuu
O-o-o-oh ...
Terimalah lagu ini
Hmm ...
Dari orang biasa
Terimalah lagu ini
Dari orang biasa
Tapi cintaku padamu luar biasa
Aku tak punya bunga
Aku tak punya harta
Yang kupunya hanyalah hati yang setia
Yang kupunya hanyalah hati yang setia
Terimalah cintaku yang luar biasa
Tulus padamu (Andmesh Kamaleng-Cinta Luar Biasa).
Bila dibandingkan dengan Calvin, Jose merasa dirinya sangat biasa. Calvin lebih segala-galanya. Namun ia percaya diri. Cintanya untuk Arini lebih besar dari cinta Calvin.
"I love you, Arini." ujar Jose, lalu menarik tubuh Arini ke pelukannya.
"Love you too, Ayah."
** Â Â
Para pengunjung supermarket menatap mereka berdua. Sebagian kagum, sebagian mencela. Mereka yang kgum karena melihat Arini begitu mencintai Ayahnya. Golongan yang mencela karena merasa gadis secantik Arini tak pantas berayahkan pria yang duduk di kursi roda.
Sebaliknya, Arini nampak bahagia sekali bisa pergi berdua dengan Jose. Momen berbelanja bersama terkesan simple, namun memiliki arti yang dalam. Di dekat Jose, Arini merasa tenang. Sejenak dia melupakan perundungan teman-temannya di sekolah.
Di sekolah, Arini tak punya banyak teman. Banyak murid yang iri padanya. Arini dibanggakan para guru karena prestasi menulisnya. Di mata teman-temannya, Arini anak yang membanggakan dan membuat iri. Sampai akhirnya, mereka menemukan sesuatu untuk membully Arini: kondisi Jose. Ya, mereka memanfaatkan kondisi Jose untuk membuat Arini kesal.
Arini dan Jose menyusuri lorong demi lorong. Mengambil detergen, sabun, shampo, pengharum ruangan, dua kotak susu, buah-buahan, keju, dan baguette sandwich. Jose membelikan Silver Queen dan sekotak besar es krim kesukaan Arini. Melihat Ayahnya begitu perhatian, Arini menahan air mata. Ingatannya melayang pada ejekan teman-teman di sekolah.
"Kenapa, Sayang? Mau tambah lagi coklatnya?" Jose salah duga. Dikiranya Arini sedih karena coklatnya kurang banyak.
"Bukan, Ayah."
"Terus kenapa?"
"Teman-teman bilang Ayah Arini lumpuh. Ayah Arini kalah baik dari ayah mereka."
Jose menghela napas berat. Digenggamnya tangan Arini erat.
"Mereka tidak punya peran penting dalam hidup kita. Arini nggak perlu dengerin kata-kata mereka, ok?"
"Ayah nggak marah? Ayah nggak sedih?"
"Buat apa marah dan sedih? Memang kenyataannya Ayah lumpuh. Tapi, meski lumpuh, Ayah masih bisa jalan-jalan sama Arini kan? Ayah masih bisa beliin makanan, mainan, dan baju yang bagus-bagus buat Arini, kan?"
Iya, benar juga. Mendung di wajah Arini tergantikan senyuman. Mengapa harus marah dan sedih? Jose tak kalah baik dibandingkan ayah-ayah lainnya.
Semua barang belanjaan mereka bawa ke kasir. Arini memperhatikan Jose gelisah. Berulang kali penulis buku non-fiksi itu melirik arlojinya. Saat ditanya, ternyata Jose takut terlambat. Sebentar lagi Calvin dan Sivia datang.
Mereka buru-buru pulang. Supir keluarga membantu menaikkan barang belanjaan ke bagasi. SUV metalik itu meluncur menuju kompleks.
Jose dan Arini datang tepat waktu. Alea, yang sudah tiba di rumah satu jam yang lalu, meminta mereka segera ke rumah sebelah. Calvin dan Sivia sudah sampai.
"Yeeeeay, wellcome home Daddy!" seru Arini setiba di rumah sebelah.
Calvin tersenyum menawan. Menggendong tubuh Arini, lalu memutarnya. Arini tertawa kegirangan diputar-putarkan ayah keduanya. Sesaat kemudian, kembali diturunkannya gadis kecil itu.
"Daddy bantu beres-beres ya. Tunggu..." pamitnya.
"Nggak usah, Calvin. Kamu di sini aja sama Arini." cegah Sivia halus.
"Tapi aku mau bantu, Sivia. Rasanya nggak berguna banget kalo nggak partisipasi..."
Sivia mendesah tak kentara. Pelan merapikan kunciran rambutnya.
"Kamu kan yang beli rumah ini. Hitungannya udah partisipasi dong. Lagian kamu nggak boleh capek..."
"Assalamualaikum."
Pria-wanita berwajah oriental, bule, dan Timur Tengah memasuki rumah sambil mengucapkan salam. Merekalah yang disebut tetangga ajaib oleh Jose.
"Waalaikumsalam. Mari, silakan." sambut tuan rumah penuh kehangatan.
Mereka tetangga yang ramah. Tangan mereka terulur membereskan barang-barang. Tak ada keluhan, tak ada paksaan. Semua dilakukan dengan tulus. Dibantu Jose dan Alea, Calvin menghafal nama mereka satu per satu.
"Saya Reinhard, penulis terkenal..." kata seorang pria dengan sweater v-neck dan skinny jeans.
"Penulis terkenal kok tulisannya nggak laku? Istrinya jarang rasain royaltinya..." sela Rinjani, perempuan berambut panjang dan bergaun magenta.
Reinhard melotot. Yang lain tertawa. Sepasang suami-istri ini memang absurd.
"Rein, anjingmu keliaran tuh di halaman! Malu ah sama Calvin!" lapor Revan, dosen tampan berambut pirang dan bermata biru.
"Kamu pelihara anjing?" tanya Calvin antusias. Semua mata tertuju padanya. Mereka pikir akan ada kemarahan, tetapi justru binar ketertarikan yang mereka lihat.
"Iya. Sorry ya..."
"Nggak apa-apa. Anjing itu hewan yang lucu dan setia. Saya suka." Calvin berterus terang.
Para tetangga baru makin heran. Jose, Alea, dan Arini saling lirik.
"Kok kamu sama anehnya kayak Rein sih?" celetuk Adica, trader berwajah oriental, to the point.
"Hush, jangan blak-blakan dulu! Sama tetangga baru kok..."
"Biarin, Rossie. Aku kan heran aja."
Calvin pun menjelaskan jika ia penyuka anjing. Meski tak semua orang menyukainya karena aturan agama dan semacamnya. Langsung saja Reinhard mengajaknya toast.
"Bagus dong! Berarti, anggaran beli makanan anjing per bulan bisa dikurangi!" tukas Rinjani enteng.
Belum sempat Reinhard menghadiahi pelototan pada istri super pelitnya, datanglah sepasang pria dan wanita setengah baya. Sang pria berwajah Timur Tengah, berhidung mancung, dan berkepala botak. Wanitanya berambut coklat dan berkulit putih. Wajahnya tipikal Indo-Jerman.
"Nah, ini ketua RT kebanggaan kita." Reinhard berkata, bangkit memberikan kursinya untuk pria paruh baya itu.
"Rein," Si pria paruh baya memanggil lembut nama Reinhard. Suaranya lembut berwibawa.
"Kenalkan Abi dengan tetangga baru kita."
Calvin dan Sivia maju. Detik itu mereka tersadar. Pria yang dipanggil Abi tak bisa melihat.
"Saya Calvin,"
"Saya Sivia."
Keduanya bergantian menyentuhkan tangan mereka ke tangan Abi Assegaf. Sesuatu menggugah hati mereka. Rasa kagum membuncah. Orang spesial dengan keterbatasan penglihatan, bisa menjadi pemimpin? Pantas saja para tetangga lama menghormatinya.
"Semoga kalian betah di sini." ungkap Abi Assegaf, tersenyum tulus.
"Pasti betah dong. Kan bakal ditemenin tetangga-tetangga kece kayak kita." timpal Revan narsis.
"Alah, tetangga hobi minta sarapan aja ngaku kece. Calvin, hati-hati lho ya. Jatah sarapanmu bisa diembat sama dia." seloroh Reinhard.
"Bukan gitu..." Revan tersenyum malu di antara para tetangga yang menertawakannya.
"Aku kan mau menghargai usaha tetangga-tetanggaku bikin sarapan. Makanya aku selalu sarapan di rumah kalian. Kalian juga bisa belajar berbagi, kan?"
"Ok!" Adica menepukkan tangannya.
"Aku dan Rossie mau berbagi kalo gitu. Revan, besok pagi kamu sarapan di rumahku. Nanti Rossie masakin banyak makanan buat kamu. Iya kan, Sayang?"
"Siap!"
"Wah, makasih deh. Aku baru mau breakfast di rumah kalian lagi kalo delivery dari restoran."
Calvin menahan senyum. Inikah pasangan Barbie-Kent yang dimaksud Jose?
Keramahan para tetangga berlanjut hingga makan malam. Sivia dan Alea memasakkan ayam saus mentega, udang goreng tepung, dan cumi bakar. Mereka makan malam bersama, penuh kehangatan. Saat makan malam, Calvin sengaja duduk di dekat Abi Assegaf dan istrinya, Ummi Adeline. Pria berkacamata itu berhasil memancing Abi Assegaf bercerita tentang pengalamannya menjadi RT.
"...Saya jadi ketua RT teladan. Ruang pertemuan kita paling bagus dibandingkan RT lainnya. Saya dan Adeline juga menginisiasi silaturahmi waktu Lebaran kemarin. Malam hari, biasanya saya menandatangani berkas-berkas administrasi yang diminta warga untuk berbagai keperluan. Adeline bacakan berkas itu satu per satu." tutur Abi Assegaf dengan suara lembut.
Calvin kagum mendengarnya. Ia yakin akan betah di sini. Ada tetangga-tetangga yang wellcome, dan ketua RT inspiratif.
Selesai makan, Sivia membagikan gelas berisi orange juice. "Kita toast pakai ini."
"Yaaah, kok orange juice sih? Wine dong!" protes Reinhard. Disambuti tatapan mencela dari yang lain.
Mereka pun bersulang. Lalu meneguk orange juice sampai habis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H