"Arini Sayang, Daddy boleh minta tolong?" tanyaku setelah mencuci tangan dan melepas apron.
"Boleh."
"Tolong ajak Ayah sama Bunda buat sarapan bareng kita ya."
"Ok, Daddy."
Kuawasi gerakannya berlari ke pintu. Kembali kutata menu sarapan yang telah kumasak. Saat itulah aku teringat sesuatu.
Sivia...
Sudah sarapankah dia? Apa yang dimakannya di apartemen? Tidakkah ia kesulitan mencari sarapan? Apartemen Sivia terletak di lantai 45. Para penghuninya kelewat egois untuk sekedar saling sapa. Memang ada aplikasi antar makanan, tetapi tak semua mau melakukannya sepagi ini. Biasanya mereka baru mulai start paling cepat pukul sembilan. Order dalam jarak jauh, lebih kecil lagi peluangnya. Rerata driver jasa antar makanan via aplikasi hanya mau melayani paling jauh radius lima kilometer.
Ah, Siviaku. Aku khawatir dirimu kesulitan di apartemen. Kamu hanya sendirian.
"Dor! Kok melamun?"
Teguran Jose mengagetkanku. Ia mendekat dengan kursi roda ajaibnya. Kusebut kursi roda ajaib karena benda itu setia menemani Jose selama setahun terakhir.
"Nggak apa-apa. Cuma lagi mikirin Sivia." kataku jujur.