Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Malaikat, Lily, Cattleya] Luka Malaikat

26 September 2019   06:00 Diperbarui: 26 September 2019   06:37 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Malaikat Terluka (Pixabay.com)

Tengah malam begini, biasanya dia akan mendekapku erat. Alam bawah sadarlah yang menggerakkannya. Dekapannya bertambah erat bila petir menyambar. Sivia takut petir. Lenganku akan melingkari lehernya. Akan kupeluk Sivia sampai ia tertidur lagi.

Apakah pelukan itu lepas begitu saja? Tentu saja. Pelukanku terus berlanjut hingga Sivia terbangun lagi. Begitulah bahasa cintaku untuknya. Karena bahasa cinta tak harus selalu berwujud 'I love you'. Perhatian kecil nan sederhana terkadang lebih menggetarkan.

Kurindukan wangi Escada The Moon Sparkel dari tubuh Sivia. Suara manjanya adalah candu bagiku. Aku rindu rengekannya saat akan kutinggal pergi di sepertiga malam, rajukannya saat minta bubur Manado, ciumannya di keningku bila sikapnya sedang normal, foto-foto hasil pemotretannya yang ia tunjukkan padaku, rambut panjangnya yang biasa aku kuncirkan, dan jeritan nyaringnya kalau dia memintaku menemaninya. Bahkan...ya, Tuhan, aku merindukan gigitannya di lenganku, tamparan Sivia di pipiku, dan cakarannya di kedua tanganku. Aku rela dilukai tiap hari asalkan bisa menatap wajahnya.

Sungguh, tak ada niatan pun untuk menyentuh Sivia. Dia bukan boneka pemuas hasrat seksualku. Kunikahi Sivia demi cinta kasihku padanya. Aku hanya menyentuh kening Sivia dengan bibirku. Lebih dari itu, tak pernah kulakukan. Batas kemesraanku dengannya hanyalah pelukan dan kecupan kening. Kami menghargai konsep cinta platonis.

Tak ada kata malam pertama dalam kamus pernikahan kami. Bagiku dan Sivvia, semua malam itu indah. Kami mengisinya dengan saling menemani. Terlelap sambil berpelukan, itu sudah lebih dari cukup untuk kami berdua.

Terlelap sambil berpelukan? Ah, betapa aku merindukan saat-saat itu. Kapankah Sivia akan kembali dan menghangatkan malamku?

Jauh di dalam hati, aku berharap Sivia juga merindukanku. Aku menertawakan ekspektasiku sendiri. Probabilitasnya kecil, mengingat Sivialah yang kabur dari rumah. Dia punya inisiatif meninggalkanku. Mungkin aku harus membujuknya pulang.

Ya, mungkin saja. Membujuk Sivia pulang sesulit mencairkan es di Greenland dalam semalam. Siviaku itu sangat keras kepala. Ia tak mudah dibelok-belokkan. Prinsipnya kuat sekali. Hanya panggilan jiwa yang mampu mengubah pendiriannya.

Air yang menetes dengan lembut ke batu karang, perlahan akan menghasilkan retakan demi retakan. Cepat atau lambat, batu karang akan hancur. Baiklah, biar aku jadi tetesan air. Akan kutetesi hati Sivia dengan penuh kelembutan. Semoga berhasil. Aku percaya bahwa kelembutan bisa membawa perubahan.

Lama aku termenung memikirkan cara untuk membuat Sivia kembali. Aku tenggelam dalam pikiranku. Tenggelam begitu dalam, dalam, dan...

Tes.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun