Tengah malam begini, biasanya dia akan mendekapku erat. Alam bawah sadarlah yang menggerakkannya. Dekapannya bertambah erat bila petir menyambar. Sivia takut petir. Lenganku akan melingkari lehernya. Akan kupeluk Sivia sampai ia tertidur lagi.
Apakah pelukan itu lepas begitu saja? Tentu saja. Pelukanku terus berlanjut hingga Sivia terbangun lagi. Begitulah bahasa cintaku untuknya. Karena bahasa cinta tak harus selalu berwujud 'I love you'. Perhatian kecil nan sederhana terkadang lebih menggetarkan.
Kurindukan wangi Escada The Moon Sparkel dari tubuh Sivia. Suara manjanya adalah candu bagiku. Aku rindu rengekannya saat akan kutinggal pergi di sepertiga malam, rajukannya saat minta bubur Manado, ciumannya di keningku bila sikapnya sedang normal, foto-foto hasil pemotretannya yang ia tunjukkan padaku, rambut panjangnya yang biasa aku kuncirkan, dan jeritan nyaringnya kalau dia memintaku menemaninya. Bahkan...ya, Tuhan, aku merindukan gigitannya di lenganku, tamparan Sivia di pipiku, dan cakarannya di kedua tanganku. Aku rela dilukai tiap hari asalkan bisa menatap wajahnya.
Sungguh, tak ada niatan pun untuk menyentuh Sivia. Dia bukan boneka pemuas hasrat seksualku. Kunikahi Sivia demi cinta kasihku padanya. Aku hanya menyentuh kening Sivia dengan bibirku. Lebih dari itu, tak pernah kulakukan. Batas kemesraanku dengannya hanyalah pelukan dan kecupan kening. Kami menghargai konsep cinta platonis.
Tak ada kata malam pertama dalam kamus pernikahan kami. Bagiku dan Sivvia, semua malam itu indah. Kami mengisinya dengan saling menemani. Terlelap sambil berpelukan, itu sudah lebih dari cukup untuk kami berdua.
Terlelap sambil berpelukan? Ah, betapa aku merindukan saat-saat itu. Kapankah Sivia akan kembali dan menghangatkan malamku?
Jauh di dalam hati, aku berharap Sivia juga merindukanku. Aku menertawakan ekspektasiku sendiri. Probabilitasnya kecil, mengingat Sivialah yang kabur dari rumah. Dia punya inisiatif meninggalkanku. Mungkin aku harus membujuknya pulang.
Ya, mungkin saja. Membujuk Sivia pulang sesulit mencairkan es di Greenland dalam semalam. Siviaku itu sangat keras kepala. Ia tak mudah dibelok-belokkan. Prinsipnya kuat sekali. Hanya panggilan jiwa yang mampu mengubah pendiriannya.
Air yang menetes dengan lembut ke batu karang, perlahan akan menghasilkan retakan demi retakan. Cepat atau lambat, batu karang akan hancur. Baiklah, biar aku jadi tetesan air. Akan kutetesi hati Sivia dengan penuh kelembutan. Semoga berhasil. Aku percaya bahwa kelembutan bisa membawa perubahan.
Lama aku termenung memikirkan cara untuk membuat Sivia kembali. Aku tenggelam dalam pikiranku. Tenggelam begitu dalam, dalam, dan...
Tes.