Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Malaikat, Lily, Cattleya] Kisah Sepotong Jas

20 September 2019   06:00 Diperbarui: 20 September 2019   06:06 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah Sepotong Jas

Armani namaku. Hitam warnaku. Lembut teksturku. Mahal hargaku.

Aku dikenal sebagai jas Hari Jumat. Sebab Calvin rutin memakaiku di hari itu. Hari terakhir dalam urutan hari kerja. Hari dimana semuanya autoselow.


Lain cerita dengan pemilikku. Senin sampai Jumat, ritme rutinitasnya tetap sama: bangun di sepertiga akhir malam, minum teh, berdoa sesaat, berjalan kaki keliling kompleks, menyiram bunga-bunganya, memasak, dan berangkat kerja. Pukul setengah tujuh, Calvin sudah berjibaku dengan kemacetan. Barulah pada pukul setengah sembilan ia tiba di kantor.

Sepanjang hari Calvin ngantor. Jam kerjanya berakhir menjelang pukul lima sore. Bergelut lagi dengan kemacetan, ia akan sampai rumah paling cepat pukul tujuh malam. Begitu terus, lima hari dalam seminggu.

Kupendam tanda tanya. Mengapa Calvin berlelah-lelah mengurus bunga, memasak, dan bermacet ria? He's a big boss. What for? Jawabannya terungkap saat aku bercakap-cakap dengan temanku sesama jas di gantungan baju.

"Itu karena bos kita pekerja keras," kata jas Hugo Boss.

"Yang bener sih? Bukannya karena Calvin pengen lari dari kesedihan ya? Rumah tangganya nggak bahagia, tubuhnya sering luka...makanya dia sibukin diri." bantah jas Versace.

"Nggaklah! Si bos itu pekerja keras! Baterainya full terus! Makanya dia super rajin!"

"Dia begitu karena mau lupain kesedihannya tauuu!"

Sepersekian menit jas Hugo Boss dan jas Versace bertengkar. Mereka memperdebatkan alasan Calvin bekerja kelewat keras. Sok tahu, pikirku jengkel. Mereka kan hanya jas. Mana tahu perasaan Calvin yang sebenarnya?

"Stop stop. Gini ya, teman-teman. Pemilik kita itu kerja keras karena panggilan hati. Dia anggap bekerja sebagai pengisi kehidupan yang saaangat positif." Jas Christian Dior menengahi.

Aku lega. Ah, Dior. Dia memang teman kami yang paling bijak dan dewasa. Lihatlah, bahkan jas Versace dan jas Hugo Boss serempak terdiam.

Ah, whateverlah. Terpenting aku bisa mendampingi Calvin di Hari Jumat. Aku senang tiap kali bertugas bersamanya. Dia membuatku nyaman.Tubuhku tak pernah kotor akibat keringat berlebihan, lipatanku tetap rapi, dan kancing-kancingku belum ada yang putus.

Calvin punya banyak koleksi jas. Tapi dia berkeras memakaiku di Hari Jumat. Senangnya diriku karena dianggap penting oleh Calvin. Eits, bukannya aku narsis. Begini ceritanya.

Kamis sore, Calvin pulang lebih awal. Ia mengobrak-abrik walking closet. Tak ia temukan diriku di sana. Kembali ke lantai bawah, Calvin mengecek mesin cuci. Betapa kagetnya Calvin mendapatiku masih teronggok di tumpukan cucian kotor.

"Minah, tolong ke sini sebentar." Calvin memanggil asisten rumah tangganya.

Spontan wanita umur lima puluhan itu berhenti menyulam. Ia sedikit waswas melihat wajah Calvin datar tanpa senyuman.

"Kenapa jas saya masih di sini?" tanya Calvin, nadanya masih lunak.

"Maaf, Tuan. Belum sempat saya cuci. Tadi saya beberes dulu." Minah meminta maaf.

Calvin mengangguk paham. "Nanti cuci jas saya ya. Mau saya pakai besok."

Aku melonjak kegirangan di dalam mesin cuci. OMG, aku penting banget sih buat Calvin.

Malamnya, Minah mencuci diriku. Tubuhku menggigil kedinginan. Rasanya seperti disiram air es dari atas ke bawah. Mesin pengering berdesis pelan, mengusir hawa dingin di sekelilingku. Sekejap kemudian Minah mengangkatku ke ruang setrika.

Aku disetrikanya dengan hati-hati. Perlahan tapi pasti, tubuhku menghangat. Lipatanku licin dan rapi. Aku puas, Minah pun puas. Dibawanya aku ke kamar Calvin.

Sekilas kulirik ranjang. Calvin sudah tertidur. Dia tidur sambil memeluk sebuah buku Kemana Sivia? Pasti pulang larut lagi. Oh Calvin, mendingan kamu peluk aku dari pada peluk buku.

**  

Hari Jumat tiba. Calvin bangun lebih awal. Menyeduh teh, berdoa, jalan kaki mengitari kompleks, menyirami lily dan cattleya, serta memasak sarapan.

Calvin memasak beberapa menu seperti biasa. Untuk apa dia masak sebanyak itu kalau ujungnya dimakan ART, supir, dan anak-anak jalanan? Entahlah, Calvin memang pemurah.

Kurasakan embun kesedihan menetesi hati Calvin. Pagi ini dia nampak sedih, amat sedih. What happen withhim?

Entah mengapa, aku ikut sedih. Maybe aku tak rela melihat pemakaiku tidak bahagia. Perasaanku memang sensitif.

Kuikuti langkahnya menuju grand piano cantik yang berdiri anggun di ruang tamu. Ah, dia mau main piano rupanya.

Kini ku tahu bila cinta tak bertumpu pada status

Semua orang tahu bila kita sepasang kekasih

Namun status tak menjamin cinta

Kini ku tahu bila cinta tak bertumpu pada lidah

Lidah bisa berkata namun hati tak sejalan

Kata-kata tak menjamin cinta

Untuk apa untuk apa cinta tanpa kejujuran

Untuk apa cinta tanpa perbuatan

Tak ada artinya

Untuk apa untuk apa cinta tanpa pembuktian

Untuk apa status kita pertahankan

Bila sudah tak lagi cinta

Kini ku tahu bila cinta tak bertumpu pada lidah

Lidah bisa berkata namun hati tak sejalan

Kata-kata tak menjamin cinta

Untuk apa untuk apa cinta tanpa kejujuran

Untuk apa cinta tanpa perbuatan

Tak ada artinya

Untuk apa untuk apa cinta tanpa pembuktian

Untuk apa status kita pertahankan

Bila sudah tak lagi cinta

Untuk apa untuk apa cinta tanpa pembuktian

Untuk apa kita pertahankan

Bila sudah tak lagi cinta

Untuk apa (Maudy Ayunda-Untuk Apa).

Ya ampun, ngapain Calvin nyanyi lagu sesedih itu? Aku jadi ikutan baper. Oh, I know. Pasti lagu itu buat istrinya.

"Morning Calvin,"

Kulihat Sivia melangkah anggun menuruni tangga. Satu tangannya bertumpu di pagar tangga yang terbuat dari kayu. Calvin menoleh menatapnya.

Mencurigakan, tumben Sivia menyapa Calvin. Biasanya dia jadi putri es. Dingin sedingin-dinginnya. Tak ada angin, tak ada hujan, pagi ini sikapnya berubah semanis coklat Dairy Milk.

"Morning Princess," Calvin balas menyapa. Ia bangkit dari kursi piano, tersenyum, lalu meraih tangan Sivia.

"Ternyata kamu di sini. Nyanyi lagu sedih. Kirain kamu masak kayak biasanya." Sivia mendesah manja.

"Aku masak kok buat kamu. Kita sarapan yuk." ajaak Calvin. Disambuti anggukan sang tuan putri.

Aneh, kenapa Sivia mau sarapan bersama suaminya? Biasanya ia menolak tegas, balik kanan, lalu melenggang ke halaman rumah. Sivia salah minum obat kali ya.

Mereka berdua menikmati sarapan. Kudengar Sivia memuji blueberry pancake buatan malaikatnya. Bahagiakah Calvin? Tidak sepenuhnya begitu. Mendung belum terhapus dari wajahnya.

Kenormalan Sivia meresahkan Calvin. Sedikit-banyak aku bisa membaca pikirannya. Pasti dia kira, sebentar lagi Sivia akan mengakui sebuah kesalahan. Atau barangkali Sivia akan meninggalkannya.

"Sivia, ada yang ingin kamu katakan?" Calvin bertanya lembut, menuangkan susu coklat ke gelas Sivia.

"Nope. I just wanna take a breakfast with you."

Calvin terdiam. Ini di luar kewajaran. Sikap Sivia begitu normal. Tidak menjerit marah, tidak melukainya, tidak pula menolak diajak sarapan.

"Princess, apa kamu ingin berpisah dariku?" tanya Calvin lagi, tak mampu menahan diri.

Sivia tertawa mendengarnya. "Calvin...Calvin, nggaklah. Walaupun aku self injury, jarang quality time sama kamu, dan sering lukai kamu, aku nggak ada niatan tuh buat pisah. Apa-apaan sih kamu, kayak baru nikah aja? Kita kan udah nikah enam tahun."

Calvin terenyak. Aku excited. Yes, apa yang ditakutkan Calvin tidak benar.

"Terus, kemarin itu maksudnya apa...?"

"Kemarin apaan?"

"Aku liat kamu berduaan sama Jose di cafe."

Yipeee, Calvin membuka kartunya! Itu alasan dia galau tingkat dewa. Lagi-lagi Sivia terkikik geli.

"Ow...jadi karena itu. Ya kali, aku selingkuh sama saudara iparku. Kayak dunia udah kesempitan aja. Aku ketemu Jose di rumah sakit, Calvin. Kebetulan lokasi shooting kemarin tuh di RS. Aku ajak aja dia ngeteh bareng."

Penjelasan Sivia sukses menghapus mendung di wajah Calvin. Ia melompat bangun dari kursinya, lalu memeluk Sivia erat sekali. Model, penulis skenario, dan pemilik butik itu menjerit senang campur manja. Telah lama tubuhnya tak mendarat mulus dalam dekapan pendamping hidupnya.

Selesailah kesedihan itu. Good bye sadness. Wellcome happiness.

**   

Kebahagiaan Calvin menular ke kantor. Walau ia datang terlambat, tetapi seluruh staf dan jajaran direksi terpapar virus kebahagiannya. Calvin mentraktir mereka semua makan siang. Dibelikannya kopi tambahan untuk petugas sekuriti. Diberinya uang untuk cleaning service.

Kebahagiaan Calvin adalah kebahagiaanku. Kesedihannya juga kesedihannya. Tapi, ternyata kebahagiaannya Jumat ini membawa petaka.

Sore itu, Calvin melakukan pertemuan bisnis dengan relasi bisnisnya. Bukan pertemuan yang terlalu formal. Mereka ngobrol santai seputar kerjasama di sebuah coffee shop. Obrolan soal bisnis dilanjutkan perbincangan ringan seputar urusan rumah dan baju.

"Ngomong-ngomong, jasnya Pak Calvin bagus juga. Beli dimana?" tanya si partner bisnis penuh minat.

"Di sebuah gerai di Singapore. Saya suka, jadinya saya beli deh jas ini." tukas Calvin ringan.

Kucium tanda bahaya. Berulang kali bapak-bapak akhir lima puluhan berperawakan gendut botak itu memandangiku. Tercermin kelaparan dalam tatapannya. Aku ngeri. Memangnya aku enak dimakan?

Calvin dilahirkan dengan hati lembut. Dia memahami makna tatapan partner bisnisnya. Panggilan jiwa menyuruhnya memberikan aku untuk si partner bisnis.

Oh no. Jangan Calvin, jangan. Aku tidak mau pisah darimu. Aku rasakan aura pria gemuk ini negatif. Please jangan pisahkan aku darimu ya...

Celakanya, Calvin tetap memberikanku pada si rekan bisnis. Pria itu kesenangan. Kulihat kini Calvin hanya mengenakan kemeja dan dasi.

"Beneran ini buat saya, Pak?" tanya si gendut antusias.

Calvin mengangguk. "Terkadang, kita perlu melepaskan sesuatu yang disukai untuk menghargai kehilangan."

Aku tersedu-sedu. Berarti, aku harus melepaskan Calvin. Bye-bye, my charming angel with the slanting eyes.

Dalam hitungan jam, aku punya majikan baru. Firasatku benar. Kurang dari dua jam bersamanya, aku sudah dibawa ke hotel bintang lima. Semula aku duga dia akan membooking kamar hotel untuk istrinya. Ternyata...

Seorang perempuan berpakaian minim melenggang masuk. Aku merinding. Apa dia kekurangan baju? Aku yakin, yakin seratus persen kalau perempuan bertampang lonte itu bukan istrinya.

"Sudah siap, Mas?" desah si perempuan erotis seraya naik ke tempat tidur.

Tidak, aku tidak mau melihat. Aku menunduk dalam-dalam. Menyesal diriku dibawa pria pecinta maksiat. Pria amoral yang merendahkan kesucian perempuan.

Calvin, kembalilah. Aku lebih memilih bersamamu dibandingkan dengan pria bejat ini. Kamu harus lihat apa yang dilakukan rekan bisnismu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun