"Ow...jadi karena itu. Ya kali, aku selingkuh sama saudara iparku. Kayak dunia udah kesempitan aja. Aku ketemu Jose di rumah sakit, Calvin. Kebetulan lokasi shooting kemarin tuh di RS. Aku ajak aja dia ngeteh bareng."
Penjelasan Sivia sukses menghapus mendung di wajah Calvin. Ia melompat bangun dari kursinya, lalu memeluk Sivia erat sekali. Model, penulis skenario, dan pemilik butik itu menjerit senang campur manja. Telah lama tubuhnya tak mendarat mulus dalam dekapan pendamping hidupnya.
Selesailah kesedihan itu. Good bye sadness. Wellcome happiness.
** Â Â
Kebahagiaan Calvin menular ke kantor. Walau ia datang terlambat, tetapi seluruh staf dan jajaran direksi terpapar virus kebahagiannya. Calvin mentraktir mereka semua makan siang. Dibelikannya kopi tambahan untuk petugas sekuriti. Diberinya uang untuk cleaning service.
Kebahagiaan Calvin adalah kebahagiaanku. Kesedihannya juga kesedihannya. Tapi, ternyata kebahagiaannya Jumat ini membawa petaka.
Sore itu, Calvin melakukan pertemuan bisnis dengan relasi bisnisnya. Bukan pertemuan yang terlalu formal. Mereka ngobrol santai seputar kerjasama di sebuah coffee shop. Obrolan soal bisnis dilanjutkan perbincangan ringan seputar urusan rumah dan baju.
"Ngomong-ngomong, jasnya Pak Calvin bagus juga. Beli dimana?" tanya si partner bisnis penuh minat.
"Di sebuah gerai di Singapore. Saya suka, jadinya saya beli deh jas ini." tukas Calvin ringan.
Kucium tanda bahaya. Berulang kali bapak-bapak akhir lima puluhan berperawakan gendut botak itu memandangiku. Tercermin kelaparan dalam tatapannya. Aku ngeri. Memangnya aku enak dimakan?
Calvin dilahirkan dengan hati lembut. Dia memahami makna tatapan partner bisnisnya. Panggilan jiwa menyuruhnya memberikan aku untuk si partner bisnis.