Aku melonjak kegirangan di dalam mesin cuci. OMG, aku penting banget sih buat Calvin.
Malamnya, Minah mencuci diriku. Tubuhku menggigil kedinginan. Rasanya seperti disiram air es dari atas ke bawah. Mesin pengering berdesis pelan, mengusir hawa dingin di sekelilingku. Sekejap kemudian Minah mengangkatku ke ruang setrika.
Aku disetrikanya dengan hati-hati. Perlahan tapi pasti, tubuhku menghangat. Lipatanku licin dan rapi. Aku puas, Minah pun puas. Dibawanya aku ke kamar Calvin.
Sekilas kulirik ranjang. Calvin sudah tertidur. Dia tidur sambil memeluk sebuah buku Kemana Sivia? Pasti pulang larut lagi. Oh Calvin, mendingan kamu peluk aku dari pada peluk buku.
** Â
Hari Jumat tiba. Calvin bangun lebih awal. Menyeduh teh, berdoa, jalan kaki mengitari kompleks, menyirami lily dan cattleya, serta memasak sarapan.
Calvin memasak beberapa menu seperti biasa. Untuk apa dia masak sebanyak itu kalau ujungnya dimakan ART, supir, dan anak-anak jalanan? Entahlah, Calvin memang pemurah.
Kurasakan embun kesedihan menetesi hati Calvin. Pagi ini dia nampak sedih, amat sedih. What happen withhim?
Entah mengapa, aku ikut sedih. Maybe aku tak rela melihat pemakaiku tidak bahagia. Perasaanku memang sensitif.
Kuikuti langkahnya menuju grand piano cantik yang berdiri anggun di ruang tamu. Ah, dia mau main piano rupanya.
Kini ku tahu bila cinta tak bertumpu pada status