Sepersekian menit jas Hugo Boss dan jas Versace bertengkar. Mereka memperdebatkan alasan Calvin bekerja kelewat keras. Sok tahu, pikirku jengkel. Mereka kan hanya jas. Mana tahu perasaan Calvin yang sebenarnya?
"Stop stop. Gini ya, teman-teman. Pemilik kita itu kerja keras karena panggilan hati. Dia anggap bekerja sebagai pengisi kehidupan yang saaangat positif." Jas Christian Dior menengahi.
Aku lega. Ah, Dior. Dia memang teman kami yang paling bijak dan dewasa. Lihatlah, bahkan jas Versace dan jas Hugo Boss serempak terdiam.
Ah, whateverlah. Terpenting aku bisa mendampingi Calvin di Hari Jumat. Aku senang tiap kali bertugas bersamanya. Dia membuatku nyaman.Tubuhku tak pernah kotor akibat keringat berlebihan, lipatanku tetap rapi, dan kancing-kancingku belum ada yang putus.
Calvin punya banyak koleksi jas. Tapi dia berkeras memakaiku di Hari Jumat. Senangnya diriku karena dianggap penting oleh Calvin. Eits, bukannya aku narsis. Begini ceritanya.
Kamis sore, Calvin pulang lebih awal. Ia mengobrak-abrik walking closet. Tak ia temukan diriku di sana. Kembali ke lantai bawah, Calvin mengecek mesin cuci. Betapa kagetnya Calvin mendapatiku masih teronggok di tumpukan cucian kotor.
"Minah, tolong ke sini sebentar." Calvin memanggil asisten rumah tangganya.
Spontan wanita umur lima puluhan itu berhenti menyulam. Ia sedikit waswas melihat wajah Calvin datar tanpa senyuman.
"Kenapa jas saya masih di sini?" tanya Calvin, nadanya masih lunak.
"Maaf, Tuan. Belum sempat saya cuci. Tadi saya beberes dulu." Minah meminta maaf.
Calvin mengangguk paham. "Nanti cuci jas saya ya. Mau saya pakai besok."