Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Serial Calvin, Jose, Alea] Memungut Kenangan Plural di Taman Rumah Sakit

12 September 2019   06:00 Diperbarui: 12 September 2019   13:02 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memungut kenangan Plural Di Unit Kemoterapi

Roda kehidupannya berputar sangat cepat. Satu setengah tahun allu, ia masih sanggup emnemani sahabatnya kemoterapi. Kini, dirinya sendiri yang ahrus disuntik jarum-jarum besar berisi Doxorubicin dan miscellanius.


"Gabriel, itu kan tempat tidur yang pernah ditempati Andrio. Kok bisa smaa eprsis ya?" desah Silvi.

Kepalanya terangguk pelan. Wajah tampannya berhias ugrat kesedihan. Bunda Alea mendekat, menggenggam elmbut tangan putra tunggalnya.

"Cobalah ingat hal-hal menyenangkan, Sayangku. Tentang Andrio, Livio, Hito.." ujarnya.

Ingatannya melayang pada sahabat spesialnya. Di tengah sepinya unit ekmoterapi, pemuda cilik berparas tampan itu memungut kenangan.

**   

"Ayah mau pergi? Ini kan Hari Sabtu..."

"Ada murid Ayah yang perlu bantuan, Sayang."

Bantuan apa? Setahu jose, teman-teman sekelasnya lebih memilih bersantai di rumah atau liburan short time bersama keluarganya di akhir pekan. Kepala mereka diperas layaknya spons selama lima hari seminggu untuk kegiatan belajar di kelas, ekstrakurikuler, dan sejumlah les.

"Ada yang mau belajar musik private sama Ayah? Mereka bayar berapa tuh, berani-beraninya suruh Ayah ajarin musik di akhir minggu." ketus Jose.

Ayah Calvin tersenyum sabar. Perkaranya tak sesederhana soal materi. Sekalipun ada murid yang meminta belajar musik private, Ayah Calvin takkan meminta bayaran. Pengusaha dan pemilik yayasan yang sangat kaya mana mungkin meminta upah mengajar private? Mengajarkan musik pada anak-anak hanyalah bentuk cinta kasih dan hobi.

"Bukan untuk mengajar musik, Jose. Tapi..."

"Terus buat apa? Teman-temanku mana ada yang mikirin urusan sekolah Hari Sabtu begini?"

Jas hitam Versace itu telah terpasang rapi. Setelah sekilas menatap refleksi diri di cermin, Ayah Calvin berlutut di depan anak semata wayangnya.

"Ayah punya murid luar biasa. Dia sakit dan butuh bantuan." terangnya.

Alis Jose bertaut. Matanya kian menyipit.

"Siapa? Kok aku nggak kenal?"

"Dia baru pindah. Sekolah lamanya mengeluarkannya begitu dia divonis kanker darah."

Merinding Jose emndengarnya. Kasihan sekali murid baru itu. Kalau begini situasinya, dia takkan protes lagi. Sebaliknya...

"Ayah, Jose ikut. Jose mau jadi temen dia."

Anak tampan yang suka bermain piano dan menulis novel itu meraih jasnya. Ia suka memakai pakaian yang sama dengan sang ayah. Tak lama, keduanya telah duduk nyaman di dalam Chevrolet putih yang melaju cepat.

Tiba di urmah sakit, Jose tak sabaran ingin cepat-cepat turun dari mobil. Hatinya dijejali rasa penasaran tentang murid baru di sekolah milik Ayahnya. Jose bahkan menolak saat Ayah Calvin hendak menggandeng tangannya.

"Jose...tunggu, Sayang. Kamu belum tahu yang mana muridnya!"

Seruan Ayah Calvin lolos dari pendengaran. Sering bermain basket mampu membuat Jose berlari lebih cepat. Berselang dua menit, dia telah berpindah posisi dari absement ke taman rumah sakit.

Taman itu nyaris kosong. Kelegaan emngaliri ahtinya. Jose tak uska keramaian. Menikmati waktu dengan sedikit orang jauh lebih berarti.

Di sudut taman, sesosok pemuda cilik berparas rupawan dengan kemeja putih dan blazer hitam berdiri terpaku. Tangan kanannya menggenggam smartphone berlogo apel tergigit, persis seperti iPhone milik jose. Tas hitam berisi biola teronggok di bawah kkainya.

"Mom, when you go back to Indonesia? I'm lonely..." Si pemuda cilik berwajah pucat ibcara dalam English beraksen British yang fasih.

Jose tertegun. Inikah murid baru Ayahnya?

"I see. Why don't you spend all year with me? I want you to accompany me."

Bahasa inggrisnya lancar sekali, pikir jose. Pasti anak ini dari keluarga expatriat. Atau mungkin, salah satu orang tuanya bule. Percakapan si anak lelaki berblazer hitam didengarkan Jose dengan sedih. Iba hatinya mendengarkan betapa rindunya anak itu pada sang ibu.

"Ok, good night. I love you."

Klik. Telepon diputus. Si pemuda cilik mengantongi iPhonenya.

Anak lelaki itu akan duduk di bangku taman. Belum sempat menghempaskan diri di sana, tubuhnya limbung nyaris jatuh. Darah segar tumpah dari rongga hidungnya. Refleks Jose berlari menghampiri anak laki-laki seumurannya. Memapahnya ke bangku taman.

"Hei, are you ok?" tanya Jose khawatir.

"I'm good."

"Nosebleed..."

Putra Ayah Calvin yakin sekali jika anak yang baru dikenalnya hanya bisa Bahasa Inggris. Disodorkannya sehelai sapu tangan putih.

"For you,"

"Thanks. By the way...what's your name?"

Ditanya begitu, Jose bimbang. Dia tak suka nama aslinya disebut-sebut. Jose Gabriel Calvin, terselip nama Calvin di dalamnya. Bukan apa-apa, anak Tionghoa bermata sipit itu tidak suka dirinya disegani hanya karena menyandang nama sang ayah.

"My name is Gabriel. You?"

"I'm Ahmad Andrio Aryan. Call me Andrio."

Sepasang anak laki-laki berpenampilan menarik itu berjabat tangan. Tangan Andrio terasa dingin. Jari-jarinya kurus. Tertangkap mata Jose memar kebiruan bekas suntikan di lengan kanannya.

Sejurus kemudian, Andrio meraih biola. Ia kembali berdiri ditingkahi tatapan cemas Jose. Dimainkannya biola sambil bernyanyi.

Aku yang lemah tanpamu

Aku yang rentan karena

Cinta yang telah hilang darimu

Yang mampu menyanjungku

Selama mata terbuka

Sampai jantung tak berdetak

Selama itu pun aku mampu untuk mengenangmu

Darimu kutemukan hidupku

Bagiku kaulah teman sejati

Bila yang tertulis untukku

Adalah yang terbaik untukmu

Kan kujadikan kau kenangan yang terindah dalam hidupku

Namun takkan mudah bagiku

Meninggalkan jejak hidupmu

Yang telah terukir abadi

Sebagai kenangan yang terindah

Betapa kagetnya Jose mendengar nyanyian itu. Pengucapan Bahasa Indonesianya tak kalah lancar.

"You can speak Bahasa!" serunya tak percaya.

"Iya, bisa kok. Kamu aja yang ajak aku ngobrol pakai Bahasa Inggris." sahut Andrio, tersenyum kecil.

Keduanya tertawa. Dalam waktu singkat, sepasang pemuda cilik beda etnis mulai lebur dalam keakraban. Mata sipit Jose dan mata bening Andrio yang ukurannya lebih besar saling lempar tatapan ramah. Tanpa merasa berbeda, tanpa merasa diri sendiri paling benar. Langit mendung di atas sana pun tersenyum menyaksikan dimulainya persahabatan keduanya.

"Oh Sayang...kamu di sini ya? Sudah kenalan sama Andrio?"

Ayah Calvin datang mendekat. Dipeluknya Jose dan Andrio bergantian. Kini Jose paham alasan Ayahnya menghilang selama tujuh-delapan jam di Hari Sabtu. Lihatlah, begitu hangat Andrio dan Ayah Calvin berpelukan.

"Siap kemo lagi, Sayangku? Efek samping yang kemarin masih terasa?" tanya Ayah Calvin penuh kelembutan.

"Masih mual, Ayah. Kepalaku sakit." lirih Andrio.

Mendengar itu, Ayah Calvin mencium kening Andrio. Lalu mengecup puncak kepalanya.

"Gabriel...sorry. Ayahmu aku pinjam dulu." Andrio meminta maaf.

Jose tersenyum. "No problem. Ayah Gabriel Ayahnya Andrio juga."

Terpancar kebanggaan di mata Ayah Calvin. Putranya mau berbagi. Putranya tak cemburu.

Pandangan mata Andrio berpindah ke jam tangannya. Dengan lembut, dilepasnya pelukan Ayah Calvin. Bersiap untuk shalat. Masih ada waktu setengah jam sebelum ODC (one day chemotherapy) dimulai.

"Kamu mau shalat? Aku ikut." kata Jose sigap.

Mendengar itu, Andrio megerutkan keningnya. Gabriel ingin shalat? Jose pun ikut heran di saat bersamaan. Teman barunya ini ternyata pengikut Prophet Muhammad.

"Gabriel...are you a follower of Prophet Muhammad?"

"Yups. Kenapa kaget gitu?"

Andrio tersenyum malu. "Nama kamu kayak malaikat di Alkitab. Malaikat yang bawa kabar kalau Bunda Maria bakal melahirkan Yesus."

Pintar juga anak ini. Wawasannya luas. Dia tak hanya belajar agamanya, tetapi juga agama lain.

Usai shalat, mereka menuju unit kemoterapi. Tim dokter menyalami Ayah Calvin penuh hormat. Mereka memberi Andrio eprhatian lebih. Salut mereka pada figur Calvin Wan yang teramat perhatian pada anak spesial penyintas kanker. Padahal anak itu bukan darah dagingnya. Di sela kesibukan, pebisnis berdarah keturunan itu meluangkan waktunya untuk mengurus anak spesial.

Jose makin kagum pada Ayahnya. Pelukan Ayah Calvin, inisiatifnya membersihkan sisa muntahan tanpa mengeluh, dan ucapan-ucapan meneguhkannya sungguh memotivasi. Terbersit janji di hati Jose. Mulai Sabtu depan, Ayahnya takkan datang sendiri ke rumah sakit. Dirinya, Gabriel Calvin, pemilik nama di kitab suci lain, akan menemani Andrio dan Ayahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun