Anak tampan yang suka bermain piano dan menulis novel itu meraih jasnya. Ia suka memakai pakaian yang sama dengan sang ayah. Tak lama, keduanya telah duduk nyaman di dalam Chevrolet putih yang melaju cepat.
Tiba di urmah sakit, Jose tak sabaran ingin cepat-cepat turun dari mobil. Hatinya dijejali rasa penasaran tentang murid baru di sekolah milik Ayahnya. Jose bahkan menolak saat Ayah Calvin hendak menggandeng tangannya.
"Jose...tunggu, Sayang. Kamu belum tahu yang mana muridnya!"
Seruan Ayah Calvin lolos dari pendengaran. Sering bermain basket mampu membuat Jose berlari lebih cepat. Berselang dua menit, dia telah berpindah posisi dari absement ke taman rumah sakit.
Taman itu nyaris kosong. Kelegaan emngaliri ahtinya. Jose tak uska keramaian. Menikmati waktu dengan sedikit orang jauh lebih berarti.
Di sudut taman, sesosok pemuda cilik berparas rupawan dengan kemeja putih dan blazer hitam berdiri terpaku. Tangan kanannya menggenggam smartphone berlogo apel tergigit, persis seperti iPhone milik jose. Tas hitam berisi biola teronggok di bawah kkainya.
"Mom, when you go back to Indonesia? I'm lonely..." Si pemuda cilik berwajah pucat ibcara dalam English beraksen British yang fasih.
Jose tertegun. Inikah murid baru Ayahnya?
"I see. Why don't you spend all year with me? I want you to accompany me."
Bahasa inggrisnya lancar sekali, pikir jose. Pasti anak ini dari keluarga expatriat. Atau mungkin, salah satu orang tuanya bule. Percakapan si anak lelaki berblazer hitam didengarkan Jose dengan sedih. Iba hatinya mendengarkan betapa rindunya anak itu pada sang ibu.
"Ok, good night. I love you."