"Silakan..."
Reaksi Ayahnya di luar dugaan. Calvin menggulung lengan jasnya. Mengulurkan tangan kiri ke depan wajah Sivia.
"Lebih baik Ayah yang terluka," ucapnya.
Srettt...
Serpihan kristal lain menoreh tangan Calvin. Meninggalkan luka memanjang. Sesaat Sivia dirasuki kepuasan. Rasa sakitnya pindah ke tubuh orang.
Namun, benarkah dia puas?
Semenit. Tiga menit. Lima menit, Sivia merasakan hatinya berdenyut perih. Tidak, ini bukan putri Ayahnya. Sivia putri yang cantik. Masa putri cantik melukai Ayahnya sendiri?
Meski Calvin tak bicara, Sivia tahu Ayahnya kesakitan. Torehan memanjang itu tentu memedihkan. Kepuasan itu berganti penyesalan. Ia luar biasa menyesal. Demi Nabi Nuh yang menaikkan semua orang beriman ke bahteranya, Sivia lebih ingin memeluk dan mencium Calvin daripada melukainya.
"Sivia mau peluk Ayah...Sivia mau cium Ayah." isaknya tertahan.
Calvin merengkuh Sivia tanpa kata. Mengecup keningnya berkali-kali. Sivia membalasnya. Damai menjadi penawar sesal. Damai, damai sekali hati Sivia saat di samping Ayahnya.
** Â Â