Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pulanglah Sebelum Aku Tak Bisa Memelukmu Lagi (3)

19 Juni 2019   06:00 Diperbarui: 19 Juni 2019   06:03 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagian 3

Sivia kesepian. Sudah beberapa hari ia tak bersama Ayahnya. Malam-malamnya menjadi dingin lantaran tak ada lagi pelukan hangat itu, ciuman di kening itu, belaian rambut itu, dan suara lembut yang bercerita itu.

Kehilangan Ayah bagai kehilangan malaikat. Sivia menjalani hari-hari dengan limbung, tak seimbang lagi. Rasa sedih dan takut mengaduk-aduk benaknya.

Bagaimana bila ia takkan bisa bertemu Ayahnya lagi? Bagaimana bila Ayahnya berhenti menyayanginya? Dan sejumlah "bagaimana-bagaimana" lainnya memenuhi kepala Sivia. Otak gadis kecil itu serasa dibentur-benturkan ke dinding, berat dan menyakitkan.


"Ayah...Ayah dimana?" lirihnya.

Ia ditinggal-tinggal Ayahnya lagi. Sivia menggigit bibir masygul. Ditinggal Calvin melebarkan ruang kesepian di hati Sivia.

Kehadiran Jose dan Syifa tak cukup mengobati sakitnya kesepian. Sivia terbiasa bersama Calvin. Saat Calvin tak ada, separuh jiwanya pergi.

Sepasang mata blue saphier itu menghamburkan kristal bening. Sivia hanya ingin bersama Calvin selamanya. Akan tetapi, sepertinya Calvin tidak mengerti. Ia lebih memilih sibuk dengan dunianya sendiri. Calvin tak peduli lagi pada Sivia.

Jemari lentik Sivia menyentuh tuts-tuts hitam-putih. Ragu, ia mulai emainkan piano. Mengadukan pedih lewat lagu.

Bagaimana caranya

Agar kamu tahu

Bahwa kau lebih dari indah

Di dalam hati ini

Lewat lagu ini

Kuingin kau mengerti

Aku sayang kamu

Kuingin bersamamu... (Nikita Willy-Lebih Dari Indah).

Sepi ini memagut hati Sivia. Sepi melahirkan pedih. Pedih melahirkan kecewa tak tertahankan.

Mengapa Ayahnya meninggalkan dirinya begitu lama? Sivia telah kehilangan tempat amannya untuk berbagi. Sivia tak punya seseorang untuk dipercaya. Ayahnya ternyata punya pilihan lain.

Pada siapakah ia harus mengadu? Pada Jose, anak ganteng itu hanya bisa menyuruhnya bersabar. Pada Syifa, Auntie cantiknya itu akan membela Ayahnya. Pada Alea, jelas tak mungkin. Bundanya terlalu sibuk.

Tiba-tiba Sivia merasa marah. Biar saja, biar saja semua orang meninggalkannya. Biar saja semua orang tak memahami. Bahkan Calvin yang dipercayainya, toh pergi juga.

Gadis berambut panjang itu bangkit berdiri. Berjalan tertatih menuju pintu. Tidak ada tangan hangat yang menggenggam jemarinya lembut. Tidak ada lagi suara bass lembut nan empuk yang mengarahkannya.

Beberapa kali Sivia menabrak pajangan kristal. Pajangan terakhir yang ditabraknya pecah. Sivia berlutut di lantai, memungut pecahan itu.

Baiklah, ia bisa melakukannya. Sivia menggoreskan pecahan kristal ke tangannya. Darah mengucur ke lantai marmer. Sepercik kepuasan menetesi hatinya. Melukai diri ternyata memuaskan.

Senyumannya melebar. Self harm itu nikmat, pikirnya. Kesendiriannya tersalurkan. Sivia menikmati tetes darahnya. Tak ada yang bisa mencegah, kecuali...

"Sivia, jangan lakukan itu, Sayang."

Suara bass itu, derap langkah itu, wangi Blue Seduction itu...Sivia terperangah. Ayahnya sudah kembali!

"Kenapa? Sivia mau luka...!" balasnya dingin.

Calvin berlutut di sampingnya. Menatap sedih tangan Sivia yang berdarah. Diambilnya tangan kanan Sivia. Diobatinya luka itu. Jangan kira Calvin tak pernah membawa obat luka dan plester kemana-mana.

Ketika sang ayah menyentuhnya, kesedihan besar menguasai hati Sivia. Dorongan untuk melukai diri hadir lagi.

"Kamu terlalu cantik untuk terluka, Sayangku." Calvin berujar lembut, seolah bisa membaca pikiran Sivia.

"Sivia mau luka! Sivia mau lukai Ayah!" teriak gadis Manado Borgo itu.

"Silakan..."

Reaksi Ayahnya di luar dugaan. Calvin menggulung lengan jasnya. Mengulurkan tangan kiri ke depan wajah Sivia.

"Lebih baik Ayah yang terluka," ucapnya.

Srettt...

Serpihan kristal lain menoreh tangan Calvin. Meninggalkan luka memanjang. Sesaat Sivia dirasuki kepuasan. Rasa sakitnya pindah ke tubuh orang.

Namun, benarkah dia puas?

Semenit. Tiga menit. Lima menit, Sivia merasakan hatinya berdenyut perih. Tidak, ini bukan putri Ayahnya. Sivia putri yang cantik. Masa putri cantik melukai Ayahnya sendiri?

Meski Calvin tak bicara, Sivia tahu Ayahnya kesakitan. Torehan memanjang itu tentu memedihkan. Kepuasan itu berganti penyesalan. Ia luar biasa menyesal. Demi Nabi Nuh yang menaikkan semua orang beriman ke bahteranya, Sivia lebih ingin memeluk dan mencium Calvin daripada melukainya.

"Sivia mau peluk Ayah...Sivia mau cium Ayah." isaknya tertahan.

Calvin merengkuh Sivia tanpa kata. Mengecup keningnya berkali-kali. Sivia membalasnya. Damai menjadi penawar sesal. Damai, damai sekali hati Sivia saat di samping Ayahnya.

**    

Taksi biru itu meluncur pergi. Alea menyeret kopernya memasuki bandara. Penerbangannya satu jam lagi.

Diedarkannya pandang ke sekeliling bandara. Orang-orang berlalu-lalang menggendong ransel, mendorong troli, memeluk para pengantar, mengobrol, bahkan ada yang menangis. Sepasang suami-istri warga keturunan berpelukan erat. Mata sang istri sembap.

Melihat pemandangan itu, Alea merasakan kekosongan di hatinya. Semua calon penumpang rerata didampingi pengantar. Hanya dia, dia yang berjalan sendiri memasuki check in room.

Sepi menyelusup ke hatinya. Ritme hidup monoton, kesibukan yang tak pernah usai, perjalanan ke kota dan negara berbeda, pertemuan dengan tim pukul delapan pagi hingga pukul lima sore, dan rapat-rapat panjang membuatnya letih. Kesepian ini makin kuat. Alea nyaris tak punya waktu untuk dirinya sendiri. Jangankan me time, waktu yang berkualitas untuk keluarga pun tak ada.

Kursi-kursi di ruang tunggu bandara membisu. Ruangan luas berpendingin udara itu sunyi, seesunyi hatinya. Alea menyibukkan diri membuka iPhone. Ratusan notifikasi menuntut ingin dibuka.

Tubuh Alea bergetar hebat. Untaian panjang chat di WAG keluarga merobek-robek perasaannya. Terlihat beberapa foto yang memperlihatkan perkembangan terakhir kondisi Mamanya pasca operasi. Kemunduran tubuh yang lumayan parah. Keharusan untuk latihan jalan. Kerusakan tulang. Dan...astaga, pria tampan bermata sipit yang mengangkat tubuh sang Mama ke kursi roda itu...

"Calvin?" desah Alea matanya berkaca-kaca.

"Calvin...kau ada di sana, Sayang?"

Air mata Alea tumpah. Peduli amat dirinya kini berada di tempat publik. Masa bodoh bila ada petugas maskapai, calon penumpang, bahkan wartawan sekalipun yang menatapnya penuh tanya.

Calvin, malaikat tampan bermata sipitnya, rela berlelah-lelah mengurus keluarga yang membencinya? Calvin, membalas penolakan dan tekanan berulang, dengan perhatian tulus? Alea terharu, sungguh terharu.

Sewaktu membuka e-mail, kembali ditemukannya pesan dari akun calvinwan912@gmail.com. Ah, tidak. Alea tidak siap membalasnya. Isi pesannya masih sama: permintaan untuk kembali.

Ada pesan pribadi lain. Nama siviaaisyacalvin@gmail.com berpendar di layar.

"Sivia...Sivia anakku." Bibir Alea bergetar menyebut nama putrinya. Putri cantik yang ia rindukan.

Permintaan Sivia sungguh menyesakkan. Ia menginginkan Alea menjadi pembaca pertama novel terbarunya. Perih hati Alea. Ia Bunda yang melupakan perkembangan putrinya sendiri.

Patah-patah Alea mengetikkan balasan. Menjanjikan satu hari khusus untuk membaca draf novel karya Sivia. E-mail balasan terkirim dengan gumpalan rasa bersalah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun