Gadis berambut panjang itu bangkit berdiri. Berjalan tertatih menuju pintu. Tidak ada tangan hangat yang menggenggam jemarinya lembut. Tidak ada lagi suara bass lembut nan empuk yang mengarahkannya.
Beberapa kali Sivia menabrak pajangan kristal. Pajangan terakhir yang ditabraknya pecah. Sivia berlutut di lantai, memungut pecahan itu.
Baiklah, ia bisa melakukannya. Sivia menggoreskan pecahan kristal ke tangannya. Darah mengucur ke lantai marmer. Sepercik kepuasan menetesi hatinya. Melukai diri ternyata memuaskan.
Senyumannya melebar. Self harm itu nikmat, pikirnya. Kesendiriannya tersalurkan. Sivia menikmati tetes darahnya. Tak ada yang bisa mencegah, kecuali...
"Sivia, jangan lakukan itu, Sayang."
Suara bass itu, derap langkah itu, wangi Blue Seduction itu...Sivia terperangah. Ayahnya sudah kembali!
"Kenapa? Sivia mau luka...!" balasnya dingin.
Calvin berlutut di sampingnya. Menatap sedih tangan Sivia yang berdarah. Diambilnya tangan kanan Sivia. Diobatinya luka itu. Jangan kira Calvin tak pernah membawa obat luka dan plester kemana-mana.
Ketika sang ayah menyentuhnya, kesedihan besar menguasai hati Sivia. Dorongan untuk melukai diri hadir lagi.
"Kamu terlalu cantik untuk terluka, Sayangku." Calvin berujar lembut, seolah bisa membaca pikiran Sivia.
"Sivia mau luka! Sivia mau lukai Ayah!" teriak gadis Manado Borgo itu.