** Â Â
Ini semacam undangan balasan. Di paruh kedua bulan mulia, Paman Revan mengundang Jose dan Ayah Calvin ke rumahnya. Paman Adica tak bisa ikut. Ada urusan dengan Abi Assegaf dan Ummi Alea.
Satu jam selepas senja, mereka pergi ke masjid eksekutif di samping rumah Paman Revan. Masjid eksekutif itu baru selesai dibangun. Mengikuti trend dengan karpet tebal, gedung full AC, dan pintu kaca. Banyak yang pro, banyak pula yang kontra. Namanya trend, siapa bisa melawan?
Mereka jarang ke masjid. Bukan apa-apa, pasalnya mereka sudah bosan ditatap aneh. Jamaah menganggap mereka berbeda. Bikin ibadah tidak khusyuk saja. Lebih baik ibadah di rumah.
Lihatlah, beda sekali. Sebagian beesar jamaah pria memakai sarung dan peci. Sebagian besar jamaah wanita memakai mukena. Mereka berempat lebih nyaman memakai jas dan abaya Turki.
Jamaah bermata biru seperti Silvi dan Paman Revan dianggap mencolok. Jose dan Ayah Calvin, dengan paras oriental mereka, mengundang tanya. Lagi-lagi begini.
Kalau bukan karena Abi Assegaf, mereka takkan datang. Mereka sangat menghormati pria itu. Terlebih, anak Abi Assegaf orang dekat mereka.
"Kalian datang? Bagus..." sambut Paman Adica senang.
Ditepuknya punggung Paman Revan. Ia mengusap kepala Jose dan Silvi. Ditatapnya Ayah Calvin lekat-lekat.
"Kau baik-baik saja, Dahak?"
"I am good." Ayah Calvin menyahut pendek. Ia tak suka dikhawatirkan.