Keduanya menurut. Setelah Jose dan Silvi menghilang di kaki tangga, Paman Revan menyodorkan botol putih ke tangan Ayah Calvin.
"Tadi ketinggalan di ruang depan. Kamu sudah minum obat?" tanyanya sedikit cemas.
Ayah Calvin menggeleng. Tangan kanannya berusaha membuka tutup botol. Mengambil satu butir pil dari dalamnya.
"Tidak apa-apa kalau aku minum sekarang?" Wajah Ayah Calvin menyiratkan keraguan.
"Tentu saja tidak. Minum saja. Mau kubantu?"
Paman Revan meraih gelas kosong. Mengisinya dengan air bening. Diulurkannya gelas itu.
Sembunyi-sembunyi ia melempar pandang ke arah sahabat orientalisnya. Hatinya sedih memikirkan kenyataan yang terjadi. Ayah Calvin, dengan karier cemerlang, bakat menulis, dan disukai banyak orang, ternyata memiliki kelainan darah yang cukup serius. Penyakit itu mengharuskannya minum obat setiap hari.
"Calvin, bagaimana perasaanmu menghadapi kenyataan tentang kondisi darahmu?" Paman Revan bertanya hati-hati.
"Menerima kenyataan. Dan mencoba bertahan. Aku harus bertahan demi anak tunggalku." jawab Ayah Calvin tenang.
"That's great. Hidup harus terus berjalan. Kita sama-sama punya tanggung jawab besar."
Ayah Calvin menghela nafas. "Tapi aku sedih. Bulan mulia sama saja. Dulu, aku tak menjalani karena bukan bagian darinya. Sekarang, aku tak bisa karena larangan dokter."