Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ayah, Kenapa Tidak Ada yang Mendoakan Kita?

17 Mei 2019   06:00 Diperbarui: 17 Mei 2019   06:05 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ayah, Kenapa Tidak Ada yang Mendoakan Kita?

"Gabriel...tunggu bentar." kata Silvi buru-buru.

"Kamu lagi ngapain sih? Oh...cover lagu ya."

Jose duduk di samping Silvi. Diperhatikannya gadis bermata biru itu. Silvi tengah sibuk membolak-balik teks partitur.

"Lagu apa?" tanya Jose penasaran.


Ibu jari Silvi menunjuk bagian kanan atas. Tertera kata 'Jalan Lurus'. Lagu yang bagus, pikir Jose.

Piano berdenting lembut. Silvi bernyanyi dengan suara sopranonya.

Jalan lurus

Sepuluh yang mesti ditempuh

Yang pertama bahwa Allah Maha Esa

Yang kedua Muhammad Rasul kita

Yang ketiga cinta ibu cinta ayah kita

Yang keempat cinta guru-guru kita

Yang kelima cinta tanah air kita

Diri kita memancarkan cahaya cinta

Semoga Allah membimbing kita semua

Jalan lurus sepuluh yang mesti ditempuh

Yang keenam salat mari ditegakkan

Yang ketujuh Quran baca diartikan

Yang delapan sedekah jangan terbawa

Yang sembilan puasa penuh keikhlasan

Yang sepuluh senyum sopan senantiasa

Keramahan perilaku diri kita

Semoga Allah membimbing kita semua (Gita Guttawa-Jalan Lurus).

Jose bertepuk tangan. Suara Silvi bagus. Permainan pianonya sama bagusnya.

"Keren banget!" pujinya.

Silvi tersenyum. Detik berikutnya, ia berteriak kesakitan. Ada helaian rambut masuk ke mata. Lumayan sakit.

"Papaaaaaa, tolong kuncirin rambut Silvi!" teriak Silvi.

"Papa lagi repot, Sayang. Nanti ya!" Paman Revan balas berteriak dari lantai bawah.

Mendengar itu, Jose menahan tawa. Lucu juga cara Silvi dan Paman Revan saling teriak. Jose dan Ayah Calvin tak pernah begitu di rumah. Mereka biasanya bicara perlahan-lahan.

"Aaaaah, Silvi maunya sekaraaaang! Gabriel, iketin rambut aku dong!" Silvi manyun, melompat-lompat di tempat duduknya.

Jose membelalak. "Yeeee, nggak bisalah! Memangnya Papa kamu bisa? Paman Revan kan cowok."

"Bisa tuh! Papa kan serba bisa!"

"Sini, sama Ayah aja ya..."

Tanpa diduga, Ayah Calvin naik ke lantai atas. Mata Silvi berbinar senang. Jose menatap Ayahnya tak percaya.

"Ayah kan nggak punya anak perempuan..." cetusnya bingung.

"Siapa bilang kalo nggak punya anak perempuan berarti nggak bisa? Dulu, Ayah sering ikat rambut Kak Smita. Gampang kok." sanggah Ayah Calvin tenang.

Kotak aksesoris milik Silvi diambil. Sebentuk ikat rambut berwarna biru dan berlapis bulu dikeluarkan. Ayah Calvin menguncir rambut Silvi. Hasilnya bagus dan rapi. Silvi berlari mencari kaca. Ia tersenyum puas memandangi bayangannya.

"Terima kasih, Ayah!" serunya riang, lalu mencium pipi Ayah Calvin.

Jose masih tak percaya. Ayahnya ternyata bisa melakukan itu.

Tak lama, Paman Revan bergegas naik menyusul mereka. Ia keheranan mendapati rambut Silvi terkuncir rapi. Tapi ia senang juga karena Ayah Calvin memperhatikan putrinya.

"Nah, gimana kalo kita turun sekarang? Tinggal beberapa menit lagi. Jose, Silvi, kalian duluan ya." kata Paman Revan.

Keduanya menurut. Setelah Jose dan Silvi menghilang di kaki tangga, Paman Revan menyodorkan botol putih ke tangan Ayah Calvin.

"Tadi ketinggalan di ruang depan. Kamu sudah minum obat?" tanyanya sedikit cemas.

Ayah Calvin menggeleng. Tangan kanannya berusaha membuka tutup botol. Mengambil satu butir pil dari dalamnya.

"Tidak apa-apa kalau aku minum sekarang?" Wajah Ayah Calvin menyiratkan keraguan.

"Tentu saja tidak. Minum saja. Mau kubantu?"

Paman Revan meraih gelas kosong. Mengisinya dengan air bening. Diulurkannya gelas itu.

Sembunyi-sembunyi ia melempar pandang ke arah sahabat orientalisnya. Hatinya sedih memikirkan kenyataan yang terjadi. Ayah Calvin, dengan karier cemerlang, bakat menulis, dan disukai banyak orang, ternyata memiliki kelainan darah yang cukup serius. Penyakit itu mengharuskannya minum obat setiap hari.

"Calvin, bagaimana perasaanmu menghadapi kenyataan tentang kondisi darahmu?" Paman Revan bertanya hati-hati.

"Menerima kenyataan. Dan mencoba bertahan. Aku harus bertahan demi anak tunggalku." jawab Ayah Calvin tenang.

"That's great. Hidup harus terus berjalan. Kita sama-sama punya tanggung jawab besar."

Ayah Calvin menghela nafas. "Tapi aku sedih. Bulan mulia sama saja. Dulu, aku tak menjalani karena bukan bagian darinya. Sekarang, aku tak bisa karena larangan dokter."

**   

Ini semacam undangan balasan. Di paruh kedua bulan mulia, Paman Revan mengundang Jose dan Ayah Calvin ke rumahnya. Paman Adica tak bisa ikut. Ada urusan dengan Abi Assegaf dan Ummi Alea.

Satu jam selepas senja, mereka pergi ke masjid eksekutif di samping rumah Paman Revan. Masjid eksekutif itu baru selesai dibangun. Mengikuti trend dengan karpet tebal, gedung full AC, dan pintu kaca. Banyak yang pro, banyak pula yang kontra. Namanya trend, siapa bisa melawan?

Mereka jarang ke masjid. Bukan apa-apa, pasalnya mereka sudah bosan ditatap aneh. Jamaah menganggap mereka berbeda. Bikin ibadah tidak khusyuk saja. Lebih baik ibadah di rumah.

Lihatlah, beda sekali. Sebagian beesar jamaah pria memakai sarung dan peci. Sebagian besar jamaah wanita memakai mukena. Mereka berempat lebih nyaman memakai jas dan abaya Turki.

Jamaah bermata biru seperti Silvi dan Paman Revan dianggap mencolok. Jose dan Ayah Calvin, dengan paras oriental mereka, mengundang tanya. Lagi-lagi begini.

Kalau bukan karena Abi Assegaf, mereka takkan datang. Mereka sangat menghormati pria itu. Terlebih, anak Abi Assegaf orang dekat mereka.

"Kalian datang? Bagus..." sambut Paman Adica senang.

Ditepuknya punggung Paman Revan. Ia mengusap kepala Jose dan Silvi. Ditatapnya Ayah Calvin lekat-lekat.

"Kau baik-baik saja, Dahak?"

"I am good." Ayah Calvin menyahut pendek. Ia tak suka dikhawatirkan.

Ibadah berlangsung khidmat. Tak ada yang mengantuk. Semuanya khusyuk berdoa.

Tiba waktu tausyiah. Mereka semua duduk mendengarkan. Materi tausyiah malam ini tentang sifat Allah yang Maha Menyaksikan. Allah selalu tahu isi hati terdalam. Di akhir tausyiah, penceramah mengucap doa.

"Ya, Allah, jagalah saudara-saudara kami di Palestina dan Suriah."

Jose tertegun. Dipegangnya tangan Ayah Calvin. Pria tampan berkacamata itu menoleh menatapnya.

"Kenapa, Sayang?"

"Ayah, kenapa tidak ada yang mendoakan kita?" tanya Jose polos.

Kening Ayah Calvin berkerut. Ia memandang Jose tak mengerti.

"Iyaaaa...kenapa nggak ada yang doain orang-orang kayak kita? Kenapa nggak ada yang berdoa buat orang Tionghoa, orang Manado Borgo, orang Linggong, orang Aceh keturunan Portugis? Kenapa malah doain yang jauh dulu?" kejar Jose.

Ayah Calvin terenyak. Di samping kanan, Paman Revan mendengarkan dengan sedih. Bibirnya siap meluncurkan jawaban. Namun, ia tak yakin Jose akan mengerti.

"Kau harus tahu, anak nakal. Orang Indonesia terlalu membanggakan sesuatu yang bercorak kearab-araban. Glorifikasi Palestina dan Timur Tengah." Paman Adica menjawab, nadanya dingin. Suaranya keras, membuat seisi masjid mengalihkan pandang padanya.

**   

"Glorifikasi? Minoritas? Apa itu, Ayah?"

Sepertiga malam ini, Jose tak mau dibacakan buku. Ia malah meminta lanjutan diskusi tentang doa.

Hening sesaat. Ayah Calvin membaringkan tubuhnya di ranjang. Dia memeluk Jose.

"Begini, Sayang. Kebanyakan orang Indonesia menganggap orang Arab itu suci dan sempurna."

"Kenapa?"

"Mungkin karena seiman. Bagi mereka, lebih penting mendoakan yang seiman."

Aneh sekali. Jose tak setuju dengan jalan pikiran seperti itu. Tiba-tiba dia melompat berdiri. Mengabaikan kekagetan Ayahnya, Jose bergaya seperti seorang pengkhotbah di atas mimbar.

"Kalau aku jadi ustadznya, aku akan tambah doanya: Ya, Allah, jagalah saudara-saudara kami orang Tionghoa, orang Manado Borgo, orang Linggong, orang Aceh Jaya keturunan Portugis."

Ayah Calvin tersenyum bangga. Anak sekecil itu sudah tahu artinya mengasihi dalam perbedaan.

"I proud of you, My Lovely Son." ujarnya tulus.

Jose kembali menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur. Lengannya terlipat di depan dada.

"Kalau nggak ada yang doain, biar aku aja. Aku juga mau berdoa buat Ayah. Semoga Ayah Calvin sehat, semoga Ayah umurnya panjang."

Kedua kalinya, Ayah Calvin merengkuh Jose. Mencium kening anak semata wayangnya. Indonesia boleh mendiskriminasi mereka. Warga asli boleh memandang sebelah mata. Tapi percayalah, Ayah Calvin dan Jose bisa melewatinya. Ada cinta di hati mereka. Ada kasih yang menguatkan mereka. Ada Tuhan membersamai langkah mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun