Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Malaikat Pemberi Pesan Damai Itu Calvin Wan

15 Mei 2019   06:00 Diperbarui: 15 Mei 2019   06:51 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malaikat Pemberi Pesan Damai Itu Bernama Calvin Wan


Langit menggelap. Matahari sore menyingkir, terdorong awan hitam. Sebentar lagi akan turun hujan.

Jose berjalan cepat menyusuri trotoar. Sebagian bajunya basah. Sepulang dari rumah Silvi, ia menyelamatkan Adi yang hampir tenggelam di danau. Akhirnya Jose tahu kalau anak sekelasnya yang suka membully teman itu tak bisa berenang. Adi telah banyak berbuat jahat padanya. Tapi itu takkan membuat Jose enggan menolongnya.

"Kasihilah orang-orang yang membenci kita." Ayah Calvin berpesan padanya suatu hari.

Ayah Calvin...rindunya membuncah. Jose tak sabar ingin cepat sampai rumah. Dinginnya air yang membasahi baju dapat diredakan dengan pelukan hangat Ayah Calvin.

Sambil berjalan, Jose membayangkan pelukan sang ayah. Wangi Blue Seductionnya, belaian di rambutnya, kecupan di keningnya, sapaannya, senyum khasnya, dan kaldu buatannya. Sejak mundur dari urusan perusahaan dan yayasan, Ayah Calvin lebih sering memasak dan menulis. Kesehatannya menurun, namun Ayah Calvin masih bisa menyenangkan hati Jose.

"Ayah, aku pulang untukmu!" teriak Jose, langkahnya dipercepat.

Anak ganteng peraih top scorer pertandingan basket sebulan lalu itu melangkah pulang seraya menyanyi.

Aku mengenal dikau tak cukup lama

Separuh usiaku

Namun begitu banyak pelajaran

Yang aku terima...

Lagu itu diajarkan Ayahnya setahun lalu. Suara Ayah Calvin bagus. Ia pintar menyanyi dan main piano. Jose belajar banyak lagu darinya.

Oh tidak, Jose lupa liriknya! Lirik lagunya apa ya? Tengah sibuk berpikir, hujan deras mengagetkannya. Hujan turun lebat sekali.

Kau membuatku mengerti hidup ini

Kita terlahir bagai selembar kertas putih

Tinggal kulukis tinta pesan damai

Dan terwujud harmoni...

Suara bass itu...empuk sekali. Suara yang melanjutkan nyanyian. Mengurai misteri dalam ingatan Jose.

Kepalanya tak lagi terkena hujan. Jose merasakan sehelai syal melilit kepalanya. Kedua lengannya terasa hangat. Sebuah jas hitam diselimutkan. Bahannya lembut, hangat, dan wangi. Wangi ini...wangi khas Ayah Calvin.

"Ayah?" desah Jose tak percaya.

Mimpikah ini? Ayah Calvin berdiri di sampingnya. Meraih tangannya dengan lembut.

"Ayo Sayang, lanjutkan lagunya." kata Ayah Calvin, tersenyum menawan.

Mereka bernyanyi di bawah hujan.

Segala kebaikan

Takkan terhapus oleh kepahitan

Kulapangkan resah jiwa

Karena kupercaya 'kan berujung indah

Kau membuatku mengerti hidup ini

Kita terlahir bagai selembar kertas putih

Tinggal kulukis...

Nyanyiannya terhenti. Ayah Calvin menekapkan tangan ke dada. Wajahnya sepucat perkamen.

"Tinta pesan damai....dan terwujud harmoni." Jose mengakhiri lagu dengan tergesa. Ia berpaling menatap Ayahnya.

Sejenak dia tersadar. Mengapa Ayah Calvin tidak membawa mobil? Bila Ayah Calvin menjemputnya di tengah hujan begini...

"Ayah kan habis terapi. Kenapa nekat jemput Jose sih? Jose bisa pulang sendiri!" protesnya.

"Kamu yang terpenting, Sayang. Ayah akan kuat demi kamu." balas Ayah Calvin setenang mungkin.

Jarak danau dengan kompleks perumahan elite tempat tinggal mereka cukup dekat. Akan tetapi, rasanya jauh sekali dalam situasi seperti sekarang. Tiap langkah kaki Ayah Calvin serasa sangat berat. Setumpuk kata kebanggaan telah tersusun, namun syaraf-syaraf bicaranya kelelahan diajak bekerja. Sekujur tubuhnya kian melemah.

Ingin Ayah Calvin katakan ini. Betapa ia bangga pada Jose. Jose menolong anak yang membencinya. Tak semua anak berjiwa besar seperti itu.

Sayang sekali, kebanggaan itu tak sempat terucap. Dua ratus meter sebelum gerbang kompleks, tubuh Ayah Calvin limbung. Jose menahan lengan Ayahnya. Tapi ia belum cukup kuat. Ayah Calvin terlalu tinggi dan berat untuknya.

"Tuan Calvin! Anda tidak apa-apa?"

Seorang lelaki berjaket hijau berlari-lari dari seberang jalan. Ia memapah Ayah Calvin ke dalam kompleks. Jose menjajari langkahnya, hatinya penuh tanya.

"Siapa Anda...?" tanya Ayah Calvin lirih.

Wajah lelaki berjaket hijau itu kuyu. "Ah, Tuan mungkin sudah lupa. Saya Farhan Paz. Pengamen cilik yang pernah Andaberikan makanan berbuka di depan vihara."

**   

Kejadiannya belasan tahun lalu. Waktu itu, Ayah Calvin belum menikah. Tentunya Jose belum lahir.

"Gana...Smita, ayo Sayang. Ini pakai dulu seat beltnya."

Beberapa hari sebelum Waisak, Ayah Calvin mengajak dua keponakan kecilnya ke gerai pizza. Mereka melonjak kegirangan. Pelan-pelan Ayah Calvin memakaikan seat belt. Kemudian dia melajukan mobilnya meninggalkan mansion mewah itu.

Sepanjang perjalanan, Gana dan Smita berceloteh tak henti-hentinya. Si cantik Smita manja sekali. Dia merebahkan kepalanya di pundak Ayah Calvin. Dia minta disuapi coklat, minta jendela mobil dibuka, dan minta diputarkan musik instrumental kesukaannya. Smita ini pandai sekali main piano.

"Jangan, Sayangku. Nanti ya, kalau coklatnya abis." cegah Ayah Calvin lembut.

"Kenapaaaa? Ayo buka jendela mobilnya, bukaaa!" rajuk anak cantik itu.

"Nanti orang-orang di luar bisa liat Smita."

"Bagus dong. Smita kan cantik. Wleeeek!" Smita menjulurkan lidahnya.

Ayah Calvin tertawa. Mengelus-elus kepangan rambut keponakannya.

"Di luar, banyak orang yang lagi puasa. Kan Smita masih makan coklatnya. Nggak enak dong, ganggu yang puasa. Harus hormatin mereka ya?"

Smita mengangguk patuh. Kelembutan dan kesabaran Ayah Calvin membuatnya menurut. Biasanya dia bandel.

Mereka sampai di gerai. Ayah Calvin membeli berloyang-loyang pizza. Dua loyang besar untuk keponakannya, loyang lainnya entah untuk siapa. Sedikit repot juga Ayah Calvin membeli banyak makanan sambil membawa dua anak kecil super aktif.

"Pak, itu anaknya dijagain dong. Tadi hampir nabrak meja." tegur seorang pengunjung gerai.

Ayah Calvin merasa ingin tertawa. Dirinya sudah pantas dipanggil "Pak"? Menikah saja belum. Smita dan Gana malah dianggap anaknya.

Setelah dari gerai pizza, mereka tak langsung pulang. Ayah Calvin membawa dua keponakannya ke vihara. Sontak dua anak itu keheranan. Ini kan bukan waktunya puja bakti.

"Kalian tunggu di sini ya. Ada yang akan jaga kalian. Tunggu..." perintah Ayah Calvin, lalu bergegas menyeberangi halaman vihara.

Jalanan depan vihara menjadi tempat para pengamen, pemulung, tunawisma, dan penjual koran. Ayah Calvin melirik arlojinya. Waktu menunjukkan pukul 16.27. Terlalu cepatkah bila dibagikan sekarang? Ah, tidak juga.

Ia pun membagi-bagikan pizza untuk berbuka puasa. Wajah demi wajah yang ditemuinya berbinar bahagia. Sebagian mengucap kalimat dalam bahasa Arab yang tak begitu dipahaminya.

Tersisa satu loyang terakhir. Jalanan nyaris kosong. Tak ada lagi pengamen, pemulung, tunawisma, dan penjual koran. Mendadak mata Ayah Calvin tertumbuk ke arah seorang anak kecil yang duduk memeluk lutut di bawah tiang lampu. Anak berseragam putih-merah itu menangis. Tutup botol dan bungkus permen tergeletak pasrah di sisinya. Lencana di dadanya bertuliskan "Farhan Paz".

"Kenapa menangis, Adik Kecil?" tanya Ayah Calvin, berlutut di samping pengamen cilik itu.

"Farhan belum dapet uang...Farhan nggak tahu harus buka puasa pakai apa. Adik-adik Farhan gimana?" isaknya.

Ayah Calvin mengelus puncak kepala anak itu. Diberikannya loyang pizza terakhir.

"Ini buat Farhan dan keluarga." ucapnya.

Bagai terang mentari sesudah hujan, wajah pengamen cilik itu cerah kembali. Cepat ia mengusap mata. Ia berterima kasih berkali-kali pada Ayah Calvin. Pikirnya, siapakah pria berjas mahal dan berkacamata ini?

"Semoga rezeki Tuan dilipatgandakan..." doanya berulang-ulang.

Sejurus kemudian, Ayah Calvin membantu anak itu berdiri. Mengambilkan tutup botol dan bungkus permennya.

"Tuan, selamat menunaikan ibadah puasa..." tukas si pengamen cilik.

Ayah Calvin tersenyum. "Saya beragama Buddha." ujarnya lembut.

**   

Jose terpesona mendengar cerita Ayahnya. Sepertiga malam itu, Ayah Calvin tak membacakannya buku. Dia menjawab rasa penasaran Jose.

"Waktu masih ke vihara, Ayah sering ngelakuin itu ya?" gumam Jose kagum.

"Iya. Sekarang pun masih. Keyakinan boleh berubah, tapi cinta dan kasih tetap sama."

Makin kagum Jose mendengarnya. Ayahnya luar biasa. Sisi malaikat dalam diri Ayahnya terlihat jelas.

"Hmmm...coba aja waktu itu Jose udah lahir ya."

"Kan sekarang Jose masih bisa ikut Ayah berbagi. Nggak ada yang berubah kok."

"Kak Gana sama Kak Smita pasti dulu bahagiaaa banget."

"Ayah tidak tahu. Tanya saja..."

Kata-katanya terpotong. Sakit yang sama, mual yang sama, datang tanpa permisi. Efek samping terapi itu masih ada, melelahkan dan menyakitkan. Hati-hati Ayah Calvin bangkit dari tempat tidur Jose.

"Sebentar ya, Sayang." ucapnya tersendat.

Jose menghela nafas berat. Kembali berbaring telungkup. Satu tangannya menutup telinga.

Begini lagi. Ayah Calvin meninggalkannya sebentar. Ah, mengapa harus Ayahnya?

Lima menit. Tujuh menit, Jose merasakan Ayahnya kembali datang. Ayah Calvin memeluknya. Jose tak suka ditinggal-tinggal. Namun ia bisa apa?

Betapa Jose mencintai Ayahnya. Ayah Calvin Wan, malaikat bagi orang-orang lemah dan spesial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun