Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Malaikat Pemberi Pesan Damai Itu Calvin Wan

15 Mei 2019   06:00 Diperbarui: 15 Mei 2019   06:51 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Di luar, banyak orang yang lagi puasa. Kan Smita masih makan coklatnya. Nggak enak dong, ganggu yang puasa. Harus hormatin mereka ya?"

Smita mengangguk patuh. Kelembutan dan kesabaran Ayah Calvin membuatnya menurut. Biasanya dia bandel.

Mereka sampai di gerai. Ayah Calvin membeli berloyang-loyang pizza. Dua loyang besar untuk keponakannya, loyang lainnya entah untuk siapa. Sedikit repot juga Ayah Calvin membeli banyak makanan sambil membawa dua anak kecil super aktif.

"Pak, itu anaknya dijagain dong. Tadi hampir nabrak meja." tegur seorang pengunjung gerai.

Ayah Calvin merasa ingin tertawa. Dirinya sudah pantas dipanggil "Pak"? Menikah saja belum. Smita dan Gana malah dianggap anaknya.

Setelah dari gerai pizza, mereka tak langsung pulang. Ayah Calvin membawa dua keponakannya ke vihara. Sontak dua anak itu keheranan. Ini kan bukan waktunya puja bakti.

"Kalian tunggu di sini ya. Ada yang akan jaga kalian. Tunggu..." perintah Ayah Calvin, lalu bergegas menyeberangi halaman vihara.

Jalanan depan vihara menjadi tempat para pengamen, pemulung, tunawisma, dan penjual koran. Ayah Calvin melirik arlojinya. Waktu menunjukkan pukul 16.27. Terlalu cepatkah bila dibagikan sekarang? Ah, tidak juga.

Ia pun membagi-bagikan pizza untuk berbuka puasa. Wajah demi wajah yang ditemuinya berbinar bahagia. Sebagian mengucap kalimat dalam bahasa Arab yang tak begitu dipahaminya.

Tersisa satu loyang terakhir. Jalanan nyaris kosong. Tak ada lagi pengamen, pemulung, tunawisma, dan penjual koran. Mendadak mata Ayah Calvin tertumbuk ke arah seorang anak kecil yang duduk memeluk lutut di bawah tiang lampu. Anak berseragam putih-merah itu menangis. Tutup botol dan bungkus permen tergeletak pasrah di sisinya. Lencana di dadanya bertuliskan "Farhan Paz".

"Kenapa menangis, Adik Kecil?" tanya Ayah Calvin, berlutut di samping pengamen cilik itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun