"Di luar, banyak orang yang lagi puasa. Kan Smita masih makan coklatnya. Nggak enak dong, ganggu yang puasa. Harus hormatin mereka ya?"
Smita mengangguk patuh. Kelembutan dan kesabaran Ayah Calvin membuatnya menurut. Biasanya dia bandel.
Mereka sampai di gerai. Ayah Calvin membeli berloyang-loyang pizza. Dua loyang besar untuk keponakannya, loyang lainnya entah untuk siapa. Sedikit repot juga Ayah Calvin membeli banyak makanan sambil membawa dua anak kecil super aktif.
"Pak, itu anaknya dijagain dong. Tadi hampir nabrak meja." tegur seorang pengunjung gerai.
Ayah Calvin merasa ingin tertawa. Dirinya sudah pantas dipanggil "Pak"? Menikah saja belum. Smita dan Gana malah dianggap anaknya.
Setelah dari gerai pizza, mereka tak langsung pulang. Ayah Calvin membawa dua keponakannya ke vihara. Sontak dua anak itu keheranan. Ini kan bukan waktunya puja bakti.
"Kalian tunggu di sini ya. Ada yang akan jaga kalian. Tunggu..." perintah Ayah Calvin, lalu bergegas menyeberangi halaman vihara.
Jalanan depan vihara menjadi tempat para pengamen, pemulung, tunawisma, dan penjual koran. Ayah Calvin melirik arlojinya. Waktu menunjukkan pukul 16.27. Terlalu cepatkah bila dibagikan sekarang? Ah, tidak juga.
Ia pun membagi-bagikan pizza untuk berbuka puasa. Wajah demi wajah yang ditemuinya berbinar bahagia. Sebagian mengucap kalimat dalam bahasa Arab yang tak begitu dipahaminya.
Tersisa satu loyang terakhir. Jalanan nyaris kosong. Tak ada lagi pengamen, pemulung, tunawisma, dan penjual koran. Mendadak mata Ayah Calvin tertumbuk ke arah seorang anak kecil yang duduk memeluk lutut di bawah tiang lampu. Anak berseragam putih-merah itu menangis. Tutup botol dan bungkus permen tergeletak pasrah di sisinya. Lencana di dadanya bertuliskan "Farhan Paz".
"Kenapa menangis, Adik Kecil?" tanya Ayah Calvin, berlutut di samping pengamen cilik itu.