Tes.
Cairan merah menetesi pasir putih. Hidung Ayah Calvin mengalirkan darah segar.
"Ya Tuhan..." Bunda Calisa mengusapkan sapu tangan putihnya. Membersihkan darah pelan-pelan.
Mengapa serangan ini datang di saat kurang tepat? Hati Ayah Calvin berdesir. Desir ini, seperti belasan tahun yang lalu.
"Malaikat tampan bermata sipit..."
"Princess..."
Panggilan-panggilan khas itu terus terngiang. Tapi itu dulu. Kini...
"Pak direktur, ayo kita masuk. Sudah terlalu dingin. Tak baik untuk kesehatan anda." ajak Bunda Calisa.
Tanpa menunggu persetujuan, Bunda Calisa memapah Ayah Calvin masuk ke rumah. Agak susah, karena tubuh Ayah Calvin lebih tinggi dan lebih berat.
"Maaf..." lirih Ayah Calvin, tubuhnya tersandar letih ke sofa. Wajahnya lebih pucat dari sebelumnya.
"Pak direktur sudah minum obat?" tukas Bunda Calisa, mencari-cari botol putih yang sudah dihafalnya.