Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bunda Calisa untuk Ayah Calvin

8 Mei 2019   06:00 Diperbarui: 8 Mei 2019   06:11 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bunda Calisa Untuk Ayah Calvin


"Horeeee!" sorak anak-anak kegirangan.

"Mr. Alex nggak ngajar lagi! Yes yes yes!"

Mr. Alex adalah guru Bahasa Inggris mereka. Jose dan teman-temannya tak menyukainya. Mr. Alex dikenal sebagai guru tergalak. Saingannya hanyalah Ms. Erika. Anak-anak takut memandangi tubuh gemuk, wajah kasar, dan sorot mata galak Mr. Alex.

Sebagai gantinya, Bunda Calisa yang mengajar mereka. Bunda Calisa cantik sekali. Kulitnya putih bersih, rambutnya panjang, dagunya lancip, garis wajahnya halus, dan tubuhnya langsing. Tiap kali mengajar, Bunda Calisa memakai gaun yang bagus-bagus. Sering Bunda Calisa menyanyikan nama-nama benda dalam Bahasa Inggris. Anak-anak jadi lebi cepat hafal.

Di kelasnya, tak ada istilah anak emas. Semua murid diperlakukan sama baiknya. Bila ada yang berhasil menjawab pertanyaan, Bunda Calisa menghadiahi sebatang coklat. Ia juga mendorong seisi kelas untuk membuat cerpen dan puisi berbahasa Inggris. Hasil karya mereka dimuat di majalah sekolah.

Bunda Calisa dekat dengan semua murid. Beda dengan Mr. Alex yang hanya dekat sama Andrio. Ya, Andrio kan murid kesayangan Mr. Alex. Nilai Bahasa Inggrisnya paling tinggi. Jelaslah, bahasa ibunya adalah Bahasa Inggris.

Kini Andrio dan Mr. Alex sudah pergi. Jose merenung, menatap sedih bangku kosong di sebelahnya. Sengaja ia kosongkan bangku itu. Bangku itu hanya milik Andrio.

"Jose...kenapa, Sayang? What happen?" tanya Bunda Calisa lembut, mendekat ke mejanya.

Kepala Jose terangkat. Dia memandang muram wajah gurunya.

"I miss my bestfriend..." ujarnya.

"Andrio?" tebak Bunda Calisa.

Mata Jose melebar. Dari mana Bunda Calisa tahu? Seolah bisa membaca pikirannya, Bunda Calisa berkata. "Pak direktur sudah sering cerita."

Oh iya, Jose lupa. Bunda Calisa kan teman sekolah Ayah Calvin. Pasti mereka dekat. Dulunya, Ayah Calvin kakak kelas Bunda Calisa.

"Don't be sad, Son. Allah is the best planner in the world..." hibur Bunda Calisa seraya mengelus kepala Jose.

Allah perencana terbaik? Tapi, kenapa Ia mengambil Andrio? Tubuh Jose bergetar.

Tanpa kata, Bunda Calisa memeluknya. Wangi lavender membelai hidung Jose. Pelukan ini...sentuhan hangat ini...belaian ini. Rasanya seperti punya ibu. Jose mengerjapkan mata. Dia tak pernah punya Bunda sebelumnya.

"Jangan sedih lagi ya, Nak. Banyak yang sayang kamu. Ada Silvi, Sharon, Paman Revan, Paman Adica, pak direktur, dan...ada Bunda."

Bunda. Entah kenapa, kata 'bunda' menggetarkan hati Jose. Dia ingin memilikinya, ingin sekali.

Ada pak direktur...ada bunda. Ah, indahnya. Bagaimana bila pak direktur bersama bunda? Mungkin lebih indah lagi.

**   

Kaulah yang terbaik

Yang pernah aku dapatkan

Yang terbaik yang selalu kudengar

Aku tahu kini

Takkan mudah tuk bisa terus bersamamu

Karena malam ini

Saat yang terindah bagi hidupku

Oh Tuhan jangan hilangkan dia

Dari hidupku selamanya

Sungguh ku tak ingin

Hatiku jadi milik yang lainnya

Ku bersumpah kau sosok yang tak mungkin

Kutemukan lagi (Rossa-Jangan Hilangkan Dia).

**   

"Tangan pak direktur luka-luka...saya obati ya." tawar Bunda Calisa.

Ayah Calvin menggeleng. "Nanti saya obati sendiri. Kamu tamu di sini, Calisa. Masa tamu mengurusi tuan rumah?"

Saat itu, mereka berada di salah satu rumah peristirahatan milik Ayah Calvin. Villa dan rumah peristirahatan Ayah Calvin banyak sekali. Salah satunya ada di tepi pantai. Sebuah rumah megah bertingkat dua dan bercat putih.

"Ah, saya ada di sini juga karena Jose." Bunda Calisa tersenyum samar.

"Jadi, kamu takkan menemani saya kalau bukan karena Jose?"

Bunda Calisa mengangkat bahu. Melempar pandang ke arah laut. Jujur, dia takut dengan laut. Ada pengalaman traumatis dengan ombak-ombak, butir pasir, dan riak gelombang.

"Saya paling tidak bisa mengecewakan anak-anak. Ketika Jose minta saya menemani pak direktur di sini, saya bisa apa?" jelas Bunda Calisa retoris.

"Seandainya saya yang meminta...?" Sengaja Ayah Calvin menggantung kalimatnya.

"Well...mungkin iya."

Iya apa? Ambigu sekali. Tapi Ayah Calvin tak memaksa. Ditatapnya wajah mulus Bunda Calisa. Seraut wajah perpaduan Indonesia-Eropa yang menggetarkan hatinya belasan tahun lalu.

"Oh ya, saya sangat appreciated dengan kebijakan pak direktur. Meliburkan sekolah selama beberapa hari di awal bulan mulia. Itu artinya, quality time dengan keluarga. Sedikit kebersamaan tanpa perlu memikirkan PR." Bunda Calisa bergumam kagum. Disambuti senyum lembut Ayah Calvin.

Terselip perasaan dihargai. Tercipta perasaan diinginkan. Hati Ayah Calvin terasa hangat.

Hari-hari Ayah Calvin yang semula sepi, kini berseri. Hadirnya seorang wanita cantik nan lembut memberi warna tersendiri. Bagaimana pun, Ayah Calvin sama seperti pria-pria biasa. Butuh kehangatan wanita, butuh kasih sayang, butuh sandaran, dan butuh tempat untuk pulang. Ia memang cukup bahagia dengan Jose. Tapi, seperti ada yang timpang dalam mengarungi hidup.

"Calisa, kamu tahu kenapa Jose mendekatkan kita?" tanya Ayah Calvin.

"Tidak. Kenapa memangnya?" tanya Bunda Calisa balik.

"Itu karena...Jose ingin punya Bunda."

Tepat setelah kalimatnya selesai, Ayah Calvin merasakan sakit luar biasa. Tulang-tulangnya seakan terbelah. Darah berdesir cepat di kedua kakinya. Dadanya disesaki beban berat.

"Pak direktur...anda tidak apa-apa?" desah Bunda Calisa cemas.

Tes.

Cairan merah menetesi pasir putih. Hidung Ayah Calvin mengalirkan darah segar.

"Ya Tuhan..." Bunda Calisa mengusapkan sapu tangan putihnya. Membersihkan darah pelan-pelan.

Mengapa serangan ini datang di saat kurang tepat? Hati Ayah Calvin berdesir. Desir ini, seperti belasan tahun yang lalu.

"Malaikat tampan bermata sipit..."

"Princess..."

Panggilan-panggilan khas itu terus terngiang. Tapi itu dulu. Kini...

"Pak direktur, ayo kita masuk. Sudah terlalu dingin. Tak baik untuk kesehatan anda." ajak Bunda Calisa.

Tanpa menunggu persetujuan, Bunda Calisa memapah Ayah Calvin masuk ke rumah. Agak susah, karena tubuh Ayah Calvin lebih tinggi dan lebih berat.

"Maaf..." lirih Ayah Calvin, tubuhnya tersandar letih ke sofa. Wajahnya lebih pucat dari sebelumnya.

"Pak direktur sudah minum obat?" tukas Bunda Calisa, mencari-cari botol putih yang sudah dihafalnya.

Helaan nafas Ayah Calvin memberat. Jas Hugo Bossnya ternoda banyak darah.

"Mana mungkin saya makan dan minum di depanmu, Calisa?"

Astaga, jadi dari tadi...?

Ah, Ayah Calvin tak pernah berubah. Sejak dulu sampai sekarang tetap sama. Kondisi yang berbeda membuatnya tak mampu menjalani ritual setahun sekali itu. Tapi toleransinya luar biasa.

"Jangan begitu, pak direktur. Anda harus minum obat..." bujuk Bunda Calisa.

Sayangnya, Ayah Calvin keras kepala. Ada benih keras kepala di balik kelembutan. Dia takkan seintoleran itu. Jose, Bunda Calisa, pelayan-pelayannya, semua menahan diri dalam ibadah. Hanya karena berbeda, haruskah dia menggoda mereka?

"Pak direktur, ini demi kesehatan..."

"Apakah perbedaan harus selalu diperlihatkan? Daripada memperlihatkan perbedaan, mengapa tidak melupakannya saja dan bertoleransi?"

Rasanya seperti deja vu. Ini benar-benar Calvin Wan yang ia kenal. Pelupuk Bunda Calisa mengejap, siap menghamburkan air mata.

Calvin Wan tetap yang terbaik...

Ia ayah, sahabat, saudara, guru, direktur, dan malaikat bagi semua orang yang mengenalnya.

"Calisa, kenapa kau menangis?"

Ayah Calvin bangkit perlahan-lahan. Ia bersiap menghapus kristal bening yang membasahi wajah cantik itu. Namun Bunda Calisa memalingkan wajah.

"Pak direktur, mengapa kita berbeda?" isaknya tertahan.

"Sebuah kenyataan, Calisa. Tapi itu takkan mengubah keadaan. Saya tidak akan pergi lagi, begitu juga kamu."

Sesaat keduanya saling pandang. Romantis sekali. Direktur yayasan dan guru cantik saling mencinta. Belum pernah mata Ayah Calvin bersinar secerah itu. Bukan, bukan sinar mata seorang ayah. Itu sinar mata seorang pria dewasa yang mencintai wanitanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun