Helaan nafas Ayah Calvin memberat. Jas Hugo Bossnya ternoda banyak darah.
"Mana mungkin saya makan dan minum di depanmu, Calisa?"
Astaga, jadi dari tadi...?
Ah, Ayah Calvin tak pernah berubah. Sejak dulu sampai sekarang tetap sama. Kondisi yang berbeda membuatnya tak mampu menjalani ritual setahun sekali itu. Tapi toleransinya luar biasa.
"Jangan begitu, pak direktur. Anda harus minum obat..." bujuk Bunda Calisa.
Sayangnya, Ayah Calvin keras kepala. Ada benih keras kepala di balik kelembutan. Dia takkan seintoleran itu. Jose, Bunda Calisa, pelayan-pelayannya, semua menahan diri dalam ibadah. Hanya karena berbeda, haruskah dia menggoda mereka?
"Pak direktur, ini demi kesehatan..."
"Apakah perbedaan harus selalu diperlihatkan? Daripada memperlihatkan perbedaan, mengapa tidak melupakannya saja dan bertoleransi?"
Rasanya seperti deja vu. Ini benar-benar Calvin Wan yang ia kenal. Pelupuk Bunda Calisa mengejap, siap menghamburkan air mata.
Calvin Wan tetap yang terbaik...
Ia ayah, sahabat, saudara, guru, direktur, dan malaikat bagi semua orang yang mengenalnya.