"Datanglah ke rumah sakit, dan kau akan bersyukur."
Pesan mendiang Mamanya terpatri kuat di hati Calvin. Tak seperti kebanyakan orang yang benci rumah sakit, Calvin menganggapnya bagai rumah kedua. Ia mencintai bangunan putih beraroma obat itu, sama seperti ia mencintai rumah mewahnya di lereng bukit sana.
Di rumah sakit, ia melihat cinta. Cinta tulus paramedis pada pasien, cinta pembesuk pada pasien, cinta keluarga pada orang sakit, dan cinta pada Tuhan. Rumah sakit menjadi rumah doa. Tiap hari, doa-doa dari berbagai agama terlantun indah di sini.
Sejak kecil, Calvin mengakrabi rumah sakit. Berkali-kali ia telah menjadi pasien, pembesuk, dan anak big boss. Ya, rumah sakit besar ini milik Mama-Papanya.
Saat turun dari mobil, beberapa staf rumah sakit menyapanya. Seorang petugas sekuriti menerima kunci mobilnya. Dua suster dan seorang dokter melempar pandang penuh arti, ramah bercampur khawatir. Ah, Calvin benci tatapan itu. Mengapa semua orang harus mengkhawatirkannya? Calvin Wan tak suka dikhawatirkan.
"Saya masih kuat berjalan sendiri." tolak Calvin halus saat seorang suster menawarinya kursi roda.
Pria berjas hitam itu melangkah ke lantai tiga. Melewati sal demi sal. Menangkap bermacam suara: tangis, tawa, jeritan, muntahan, erangan, dan ratapan. Di unit Onkologi, Dokter Tian menyambutnya.
"Ah, Calvinku. Kau nekat sekali. Menyetir mobil sendiri...itu bahaya."
Calvin tersenyum, pelan menyahuti. "Supir saya sakit, Dokter. Mana tega saya membiarkannya tetap bekerja?"
"Nice boss. Ayo mulai."
Terapi itu, jarum-jarum suntik itu, menusuk lengannya. Terpancar kesakitan di mata sipit bening itu. Calvin bertekad tetap kuat. Ia harus kuat, demi seseorang yang masih membutuhkannya.