-Semesta Calvin-
Sujudnya begitu lama. Saat sujud, saat terdekat dengan Allah. Calvin mengadu dan curhat sepuas-puasnya pada Pengatur Kehidupan. Sekecil apa pun suara hatinya, Allah yang Maha Lembut akan memahami.
Berliter-liter kesedihan tumpah. Allah yang pertama kali tahu kesedihannya. Siapa yang tak terluka hatinya saat ia dilarang melakukan hal yang disukai? Basket adalah separuh hidup Calvin. Sama berharganya seperti musik. Dilarang bermain basket menjadi pukulan berat.
Seakan belum cukup, ia dihadapkan pada dilema. Calvin tak bisa meninggalkan Abi Assegaf. Sementara itu, Tuan Effendi meminta Calvin ikut bersamanya ke Aussie. Pindah ke Aussie sama artinya pindah kuliah, mungkin saja pindah kewarganegaraan, dan meninggalkan Abi Assegaf. Entah mengapa, kemungkinan terakhir serasa paling menyakitkan hatinya.
Tidak, Calvin tidak bisa meninggalkan Abi Assegaf. Kini ia bukan lagi merawat Abi Assegaf sebagai caregiver. Melainkan ia seperti anak yang berbakti pada ayahnya saat sang ayah memasuki fase senior living. Di mata Calvin, Abi Assegaf bukan lagi majikannya.
Puas mengadu pada Allah, ia raih iPhone. Masih ada sedikit waktu. Kesedihannya bermuara pada lautan hati di balik jendela iris biru: Revan.
Pemuda bermata indah itu mendengarkan curahan hati sahabatnya. Sesaat mengesampingkan aktivitasnya sendiri di Istanbul sana. Saat ini, Calvin butuh didengarkan dan diberi solusi.
"Aku menyesal telah mengenalkanmu pada Abi Assegaf," Revan menanggapi dengan sedih.
"Tidak, Revan. Aku sangat bersyukur mengenalnya. Cahaya Allah takkan memeluk hatiku..."
"Dan aku sedih kamu tidak bisa main basket lagi."
Mendengar kalimat terakhir, istana kebahagiaan runtuh. Berhenti bermain basket sama saja ia kehilangan separuh hidupnya. Calvin tertunduk dalam. Calvin terselamatkan dari perangkap kesedihan oleh bunyi gelas pecah. Diakhirinya video call, lalu ia bergegas turun ke bawah.
Mata Calvin melebar tak percaya. Abi Assegaf berlutut di karpet. Pecahan-pecahan gelas berserakan.
"Masya Allah...Abi, kenapa bisa begini?" Calvin bertanya cemas, segera membersihkan pecahan gelas. Takut pecahannya melukai Abi Assegaf.
"Maaf, Calvin. Tadinya Abi mau minum obat sendiri." Abi Assegaf meminta maaf.
Calvin mendesah. Ia merasa bersalah. Ini kelalaiannya. Mengapa di waktu minum obat dia malah video call dengan Revan? Diambilnya gelas, diisinya dengan air mineral, lalu disiapkannya beberapa tablet obat. Diletakkannya tablet obat ke tangan Abi Assegaf.
Di luar dugaan, Abi Assegaf tak juga meminum obatnya. Calvin membujuk dengan sabar. Suasana hati warga senior, sulit ditebak. Jangkauan kesabaran Calvin masih panjang, panjang sekali.
** Â Â
Kau datang di saat
Aku tak sendiri
Namun kaupaksakan diri
Harus kuakui hati ini tak bisa menghalangi
Hadirnya dirimu
Ku dilema
Ku berada antara dua cinta
Cinta lama dan cinta yang kini ada
Haruskah ku mengakhiri
Relakan satu hati
Karena ku tak bisa
Berbagi ke dua cinta (Calvin Jeremy-Dua Cinta).
Calvin menyudahi permainan pianonya saat bel pintu berdering. Ternyata rekan-rekan bisnis Abi Assegaf. Jangan harap gerombolan kapitalis itu datang untuk menjenguk. Mereka datang hanya demi kepentingan bisnis.
Kerjasama ditawarkan. Rencana bisnis baru diungkapkan. Fantastis, mereka bermaksud mendirikan perusahaan ekspor-impor. Dari balik kaca partisi, Calvin melihat lembaran proposal dibuka. Ketertarikan melintas di wajah Abi Assegaf. Wajahnya berubah muram saat ia hanya bisa memegang lembaran proposal itu tanpa bisa membacanya.
"Kalian tahu, aku sudah tidak bisa membaca huruf awas lagi. Siapa..."
Tepat pada saat itu, Calvin datang membantu Abi Assegaf. Dibacakannya isi proposal. Mata rekan-rekan bisnis tertuju padanya. Mereka menyimpan tanda tanya. Bukankah buah hati Abi Assegaf adalah Adica yang dinamis dan ambisius? Kini, yang muncul malah pemuda rupawan berwajah lembut dan loveable.
"Assegaf, siapa malaikat tampan ini?" tanya seorang perempuan umur 40-an dengan setelan formal.
"Namanya Calvin. Dia mengurusku sejak aku sakit. Dia juga sabar dan pandai menenangkan keresahanku." jawab Abi Assegaf.
Atensi mereka sedikit teralih. Mereka saling berbisik kagum. Yang pria terkesima dan iri, yang perempuan ingin menjadikan Calvin menantu.
Malamnya, Abi Assegaf mengajak Calvin berdiskusi. Mereka berdiskusi seputar bisnis dan peluang mendirikan perusahaan ekspor-impor tepat ketika Adica datang. Setelah menghilang berminggu-minggu, ia baru muncul lagi.
"Aku rindu Abi," ucapnya seraya memeluk Abi Assegaf.
Refleks Calvin duduk di sofa yang paling jauh dengan mereka. Ia tak ingin mengganggu. Anehnya, Abi Assegaf tak membahas tawaran bisnis baru pada Adica. Pria kelahiran 17 Agustus itu lebih banyak diam. Justru Adica yang terus bercerita. Tentang kariernya, tentang kontrak eksklusif dengan label musik ternama, dan tentang kebimbangannya.
Lama sekali Adica di sana. Ia temani Abi Assegaf sampai sang ayah tertidur. Turun dari master suite, Adica menegur Calvin.
"Bagus ya, kamu merebut cinta ayahku."
Calvin yang tengah menyetrika pakaian Abi Assegaf, sedikit tertegun. Ia kurang siap menghadapi manuver sang pemilik asli.
"Dengar sendiri, kan? Tadi Abi tidak mengajakku diskusi tentang tawaran bisnis. Abi juga tidak mengizinkan pelayan mengurus keperluan pribadinya. Hanya kamu yang boleh melakukan itu."
Nada suara Adica sedingin lapisan es Greenland. Calvin menggigit bibir. Tak setitik pun niat untuk membalas kemarahan Adica. Cukup disimpannya dalam hati.
"Sikap Abi berubah sejak kamu ada di sini! Sana, kembali pada ayah kandungmu!"
"Saya tidak akan meninggalkan Abi Assegaf."
Siapa bilang Calvin Wan hanya bisa lembut? Tidak, ia pun bisa tegas dan marah kalau mau. Sisi ketegasannya naik perlahan. Keduanya saling lempar argumen ditingkahi debur ombak di luar.
"Abi Assegaf tidak butuh kamu! Jangan sok peduli padanya!" bentak Adica marah.
"Lalu, siapa yang dia butuhkan? Anak muda ambisius dan workaholic seperti Anda, Tuan Muda?"
"Aku bisa berhenti dari dunia entertain kapan saja dan merawat ayahku!"
"Mana buktinya? Anda hanya bicara."
"Kau munafik, Calvin! Ayah orang diurusi, ayah kandung terabaikan!"
"Saya tidak pernah mengabaikan Papa Effendi. Saya berusaha adil."
Hantaman ombak kian keras memecah pasir. Dalam kemarahan, dua pemuda itu seakan menjulang lebih tinggi. Lihatlah, orang berhati lembut tak kalah menakutkan ketika marah.
Pertengkaran mereka membangunkan Abi Assegaf. Susah payah ia mengambil tongkatnya, keluar dari master suite, lalu turun tangga. Melihat Abi Assegaf turun sendiri, Adica dan Calvin berlari ke arahnya. Mereka adu cepat, seakan bersaing menunjukkan siapa yang paling berbakti.
Kaki Calvin lebih panjang, tubuhnya lebih tinggi dari Adica. Keuntungan menjadi atlet basket. Ia menang. Dipapahnya Abi Assegaf ke sofa. Adica minggir ke sudut ruangan, memaki-maki diri sendiri.
"Jangan tinggalkan Abi..." pinta Abi Assegaf dalam bisikan.
** Â Â
-Semesta Tuan Effendi-
Lampu mercusuar berpendar. Kerlap-kerlip lampu kapal barang menyemarakkan laut yang gelap. Gelombang meninggi. Butir-butir pasir menjerit tertimpa ombak.
Malam membubung. Pasang naik, bulan purnama membulat sempurna di langit. Suasana laut sedang buruk, seburuk suasana hati Tuan Effendi.
Galau milik siapa saja. Termasuk warga senior. Bukan milenials saja yang rentan terpapar virus galau tingkat akut. Demi menghalau galau, Tuan Effendi menyendiri di tepi laut.
"Aku temani, Pa."
Sebuah suara bass diikuti wangi Blue Seduction Antonio Banderas menyergap. Tanpa menoleh pun, Tuan Effendi pun tahu. Calvin telah berada di sisinya.
"My Dear Calvin, kapan kau akan mengambil keputusan? Waktunya tak banyak lagi. Kankermu terus bermetastasis. Papa juga harus kembali ke Aussie."
"Pa, bolehkah Calvin menolak?"
Lembut, lembut sekali Calvin mengatakannya. Namun sarat keteguhan. Anak ini punya prinsip yang kuat. Jika dia sudah menjatuhkan pilihan, hanya Allah yang bisa mengubahnya.
"Kenapa, Sayang? Kamu tidak ingin berbakti pada ayahmu sendiri?"
"Bukan begitu. Panggilan jiwaku sebagai caregiver. Aku banyak berutang budi pada Abi Assegaf."
Tuan Effendi tersenyum simpul. "Biaya kemo, kan? Gampang, nanti Papa kembalikan."
"Tidak hanya itu, Pa. Abi Assegaf mengenalkanku pada kasih Allah. Kasih jauh lebih berharga dari uang."
Pintu kecil di sudut otak Tuan Effendi membuka. Tahulah ia siapa yang mengenalkan Calvin pada Islam. Terlambat untuk menyesal. Ia datang ke kehidupan Calvin saat pemuda itu punya pegangan yang lain.
"Jika Papa kembali ke Aussie, apa kamu..."
"Aku akan tetap di sini, Pa." Calvin menyela mantap.
"Sampai kapan kau di sini? Sampai kapan kau mau membaktikan hidupmu pada Assegaf? Kau juga punya kehidupan sendiri, Nak."
"Sampai Abi Assegaf sembuh, rujuk lagi dengan Nyonya Adeline, atau dirawat anaknya sendiri."
** Â Â
-Semesta Dokter Tian-
Pening kepala Dokter Tian menghadapi rentetan masalah. Perselingkuhan Nyonya Dinda yang terus berulang. Kegalauan Tuan Effendi. Dilema Calvin.
Mengapa Calvin dan Tuan Effendi harus terlibat dalam hidupnya? Itu sebab desakan simpati. Sudah menjadi pilihan Dokter Tian untuk membantu mereka sebisanya. Buktinya, tengah malam begini, dia masih sibuk bertukar pikiran dengan dokter mata.
Esoknya, Dokter Tian membawa jawaban dari pertanyaan Calvin. Pagi sekali, saat rintik hujan menyetubuhi kota dan untaian kabut tipis berenang-renang di kolam langit, Dokter Tian meluncur ke tepi pantai. Ia bicara empat mata dengan pasien istimewanya. Ia jelaskan panjang lebar jawabannya.
"...Jadi begitu, Calvinku. Tapi aku tidak yakin." tukasnya mengakhiri, ragu-ragu.
Seulas senyum merekah di wajah Calvin. "Aku yakin. Kalau dokter mata handal saja bilang ada harapan..."
"Kamu banyak berkorban untuknya, Calvinku. Aku kasihan padamu."
"Aku tidak keberatan berkorban untuknya. Cinta, menguatkan kita untuk berkorban."
Ribuan jarum jahat menusuk tajam. Seluruh tubuhnya terasa sakit. Dokter Tian tersadar Calvin tengah kesakitan. Calvin mengerang pelan, tak kuat menahan rasa sakit.
Bayangan menakutkan berkejaran di kepalanya. Pasien kanker stadium akhir, terbaring tanpa daya dengan bantuan peralatan medis. Bernafas dan makan pun harus dibantu dengan selang. Calvin takut, takut sekali hal itu terjadi pada dirinya.
Noda-noda merah menjatuhi pasir putih. Calvin mimisan dan batuk darah. Puluhan tahun menjadi dokter, tak pernah Dokter Tian sesedih ini melihat rasa sakit pasien.
Betapa Dokter Tian sangat menyayangi Calvin. Apa pun akan dilakukannya untuk pemuda kelahiran 9 Desember itu. Tanpa buang tempo, ia melarikan pasiennya ke rumah sakit. Asumsinya benar. Calvin butuh transfusi darah sekarang juga.
Tak terpikir olehnya mengontak Tuan Effendi. Siapa sangka, golongan darahnya sama dengan pasien pengganti anaknya. Di tubuh Calvin, telah mengalir darah Dokter Tian.
** Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H