"Pa, bolehkah Calvin menolak?"
Lembut, lembut sekali Calvin mengatakannya. Namun sarat keteguhan. Anak ini punya prinsip yang kuat. Jika dia sudah menjatuhkan pilihan, hanya Allah yang bisa mengubahnya.
"Kenapa, Sayang? Kamu tidak ingin berbakti pada ayahmu sendiri?"
"Bukan begitu. Panggilan jiwaku sebagai caregiver. Aku banyak berutang budi pada Abi Assegaf."
Tuan Effendi tersenyum simpul. "Biaya kemo, kan? Gampang, nanti Papa kembalikan."
"Tidak hanya itu, Pa. Abi Assegaf mengenalkanku pada kasih Allah. Kasih jauh lebih berharga dari uang."
Pintu kecil di sudut otak Tuan Effendi membuka. Tahulah ia siapa yang mengenalkan Calvin pada Islam. Terlambat untuk menyesal. Ia datang ke kehidupan Calvin saat pemuda itu punya pegangan yang lain.
"Jika Papa kembali ke Aussie, apa kamu..."
"Aku akan tetap di sini, Pa." Calvin menyela mantap.
"Sampai kapan kau di sini? Sampai kapan kau mau membaktikan hidupmu pada Assegaf? Kau juga punya kehidupan sendiri, Nak."
"Sampai Abi Assegaf sembuh, rujuk lagi dengan Nyonya Adeline, atau dirawat anaknya sendiri."