Limousine meluncur menembus pagi berkabut. Sisa hujan semalam membuat jalanan licin. Embun menari di pucuk dedaunan. Seolah senang melihat sosok Calvin yang sangat toleran.
"Papa rajin ikut Misa harian ya. Padahal ini bukan Hari Minggu." Calvin memuji.
"Tidak juga, Calvin. Hanya memenuhi nazar pada diri sendiri."
"Nazar apa, Pa?"
"Jika Papa sudah bertemu dengan anak kandung Papa, 1,000 hari berikutnya harus selalu ke gereja. Bukan hanya Hari Minggu saja."
"Wow that's great."
"Kapan kamu mau tinggal bersama Papa?"
Sedetik kemudian, Tuan Effendi menyesali pertanyaannya. Wajah Calvin berubah keruh. Senyumnya memudar. Mungkin ia salah bicara.
"Papa," kata Calvin lembut.
"Aku tidak mungkin meninggalkan Abi Assegaf."
Hatinya memberontak. Tidak, ini menyedihkan. Anaknya lebih sayang orang lain dibanding dirinya. Kata 'mengapa' itu nyaris terlontar, tapi Tuan Effendi menahan diri. Susah payah Tuan Effendi mengatur ekspresi wajahnya setenang mungkin.