Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[3 Pria, 3 Cinta, 3 Luka] Imlek Kasih, Imlek Cinta

5 Februari 2019   06:00 Diperbarui: 5 Februari 2019   06:16 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

-Semesta Calvin-

Hidup penuh keterbatasan, Calvin tak berharap lebih saat merayakan Imlek. Bisa dibilang, tidak ada yang istimewa. Sewaktu Mamanya masih hidup, mereka hanya menghabiskan sepotong kue keranjang dibagi dua untuk menyambut pergantian tahun Lunar. Ya, hanya itu. Tak heran Calvin sedikit kaget ketika Abi Assegaf memintanya menginap di malam Imlek.

"Menginaplah, Calvin. Saya sudah siapkan sesuatu untukmu." pinta Abi Assegaf di batas senja.

Hati Calvin meragu. Benarkah? Ini bukan dampak kemunduran fisik, kan? Abi Assegaf mengalami kemunduran fisik setengah tahun lalu. Daya penglihatannya menurun drastis. Rambutnya telah hilang. Ada masalah serius pada jantungnya.

"Yups definitely. Kamu bisa melewatkan Imlek bersama saya."

Keraguan itu bertransformasi menjadi kehangatan. Abi Assegaf merangkulnya ke lantai atas. Calvin dibawa ke kamar utama. Kamar itu bersebelahan dengan master suite yang ditempati Abi Assegaf.

Dekorasi merah memanjakan pandangan mata. Sehelai piyama baru tersampir di tempat tidur. Piyama itu berwarna gelap. Kata Abi Assegaf, itu untuk Calvin.

"Maaf, Abi." Calvin berkata, lembut dan hati-hati.

"Kata Mama saya, saat Imlek tidak boleh memakai baju hitam."

Abi Assegaf menepuk dahinya. "Maaf...oh iya, Adeline juga pernah berkata begitu."

Kening Calvin berkerut. Abi Assegaf menjelaskan. Ternyata Adeline mantan istri Abi Assegaf. Wanita berdarah Tionghoa-Jerman. Pemeluk Katolik taat, namun masih memegang kuat tradisi leluhur.

"Adeline pergi meninggalkan saya. Dia membawa anak hasil pernikahan..."

Ingin rasanya Calvin meminta Abi Assegaf berhenti bicara. Takut melanggar pantangan lainnya, tidak boleh menceritakan sesuatu yang buruk. Sayangnya, Calvin tak se-to the point itu.

Setengah jam kemudian, Abi Assegaf mengajaknya turun ke ruang makan. Meja makan cinamon glaze itu dipenuhi mie goreng, dimsum, kue lapis legit, kue keranjang, ayam panggang, bebek Pekking, giaozi, dan telur yang direbus dengan teh. Keranjang rotan di tengah meja berisi jeruk. Tak ada arak dan daging babi.

"Ya, Tuhan, siapa yang akan menghabiskan semua ini?" desah Calvin.

"Kita bisa bagikan pada pelayan untuk mereka bawa pulang." kata Abi Assegaf, tersenyum kecil.

Mereka duduk bersisian. Makan bersama layaknya ayah dan anak. Piring berisi salmon dan salad mereka dekatkan. Calvin dan Abi Assegaf mengaduknya bersama-sama. Lalu mengangkat tinggi sumpit mereka. Keduanya sangat menikmati momen kebersamaan ini.

"Terima kasih, Abi." ujar Calvin lirih. Abi Assegaf tersenyum lembut, senyuman ayah pada anaknya.

**    


Harta yang paling berharga adalah keluarga

Istana yang paling indah adalah keluarga

Puisi yang paling bermakna adalah keluarga

Mutiara tiada tara adalah keluarga

Selamat pagi emak

Selamat pagi Abah

Mentari hari ini berseri indah

Terima kasih Emak

Terima kasih Abah

Untuk tampil perkasa bagi kami

Putra-putri yang siap berbakti

Puisi yang paling bermakna adalah keluarga

Mutiara tiada tara adalah keluarga

Terima kasih Emak... Sayang

Terima kasih Abah... Sayang (Bunga Citra Lestari-Harta Berharga).

**    

-Semesta Tuan Effendi-

Door car sensor berbunyi pelan. Pintu membuka. Kegelapan menyambut, suram dan menyesakkan. Lampu menyala. Selamat tinggal kepenatan di luar, selamat datang kenyamanan di dalam.

Ranjang king size berseprai putih siap ditiduri. Karpet bersih tanpa setitik pun debu. Desis AC menyerbu lengan, kaki, dan tengkuk. Beberapa buku berserakan di dekat headboard.

Begitu sibuknya Tuan Effendi mencari anaknya. Sampai-sampai ia tak sadar hari ini perayaan Chinese New Year. Waktu berkumpul dengan keluarga, ia alokasikan demi menemukan permata hati. Dia bahkan menonaktifkan iPhonenya selama mencari. Agar tak perlu repot menjelaskan berulang kali pada orang-orang yang ingin bertemu dengannya.

Kesegaran air yang memenuhi bathtub membilas sekujur tubuhnya. Wangi sabun menunggang udara. Desis air berpadu dengan bunyi blower.

Setengah jam membilas diri sudah cukup. Berganti jas dengan piyama, pria itu naik ke tempat tidur. Bersiap memejamkan mata. Tapi...

Krak!

Seperti suara benda patah. Oh, bukan bukan. Ternyata handphonenya jatuh. Tuan Effendi membungkuk, memungut benda cantik berlogo apel tergigit. Tergerak hatinya mengaktifkan benda perak itu.

Sesaat menunggu, layar berpendar. Selama sepersekian menit telepon pintarnya bergetar-getar. Banyak sekali notifikasi masuk. Seberkas sesal meremas hati. Satu pesan Whatsapp menarik jangkauan matanya.

"Effendi, ini profil lengkap anakmu. Dia kuliah di Tarumanegara, sama dengan anakku. Hanya beda jurusan. Anakmu bersahabat dengan anak konglomerat Minahasa-Portugis. Kata informanku, dia sering pergi ke tepi pantai. Tapi entah untuk apa."

Bulu-bulu halus di hatinya berdiri. Baiklah, tak sia-sia dia membuka hati pada rekan bisnisnya tempo hari. Satu kemudahan telah didapatkan.

Cepat-cepat Tuan Effendi mengetikkan balasan. Berterima kasih atas bantuannya. Firasatnya mengatakan, ia harus ke pantai sekarang juga.

Ke pantai malam-malam begini? Mengapa tidak? Bukankah ini malam Imlek? Banyak orang merelakan waktu tidurnya untuk menyaksikan pesta kembang api.

Tutup koper terbanting membuka. Sepotong jas Armani disambarnya. Tergesa ia melangkah keluar hotel.

Kurang dari setengah jam, Tuan Effendi tiba di pantai. Benar asumsinya. Ratusan orang menyemut, antusias menyaksikan pesta kembang api. Mereka mengenakan baju merah. Perempuan-perempuan dengan cheongsam dan rambut dikuncir tinggi. Pria-pria berjas dan berkemeja merah. Wajah-wajah bahagia menyeruak.

Laut pun bersahabat. Buih ombaknya tenang, tenang sekali. Pasir putih berdesir. Kerlip bintang berpadu dengan bunga-bunga api yang memercik ke langit.

Malam ini milik mereka. Tak ada derai hujan, gelegar petir, dan raungan angin seperti malam-malam sebelumnya. Langit dan laut mengerti.

Di antara para penikmat pesta kembang api, Tuan Effendi berkeliling mencari anaknya. Berpasang-pasang mata mengawasi. Ada yang penasaran, tertarik, dan iba. Pikir mereka, mengapa ada pria paruh baya datang sendirian dan terlihat tidak bahagia?

Langkah Tuan Effendi bertambah cepat. Kini ia setengah berlari menyusuri bentangan pasir. Sangat terobsesi menemukan kepingan hatinya. Konsentrasinya pecah. Tak ia perhatikan kondisi sekitar. Seketika...

"Maaf, saya tak sengaja. Maaf..."

Ia bertabrakan dengan sosok tinggi berkepala botak. Kontras dengan sebagian besar penikmat perayaan lainnya, pria ini berwajah tipikal Timur Tengah. Hidungnya mancung dan senyumnya ramah. Ia tetap menawan dalam usia yang tak lagi muda.

"Tidak apa-apa, sayalah yang harus minta maaf. Penglihatan saya menurun belakangan ini."

"Abi..."

Pemuda lain yang sama tinggi dengannya terburu menghampiri. Raut cemas tergurat di wajah.

"Calvin..." kata pria berwajah Timur Tengah itu lembut.

"Saya cemas sekali. Abi jangan jauh-jauh dari saya."

Si pemuda sedikit terengah. Pelan merapikan rambutnya.

Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Seolah memiliki daya magnet, Tuan Effendi meliriknya. Kalau tadi lelaki Middle East yang sudah tua saja masih terlihat tampan, pemuda ini sepuluh kali lipat lebih rupawan. Entah mengapa, Tuan Effendi senang memandang wajahnya. Wajah itu begitu bersih dan tampan. Terlebih kala ia tersenyum. Mata sipit bening di balik wajah putihnya mencerminkan ketenangan dan kelembutan hati. Tubuhnya tinggi, padat berisi, tapi tidak gemuk dan tetap proporsional.

Charming, care, and kind, bisik hati Tuan Effendi. Tanpa sadar dia menilai pemuda itu dari pandangan pertama. Beruntungnya orang tua si pemuda.

**     

-Semesta Dokter Tian-

Kecewa menggerus hati. Binar harapan meredup. Istrinya tak mau merayakan Imlek bersama. Praktis Dokter Tian melewatkan pergantian tahun baru Lunar dalam sepi.

Berjam-jam di mansion megah justru membuatnya terpenjara. Tak ada sesiapa. Kesepian menyergap rongga hati. Mengisinya dengan zat mematikan.

Tak tahan lagi, Dokter Tian meluncur ke tepi pantai. Dia datang ke pesta kembang api jelang tengah malam. Sudah terlambatkah? Masih bisakah ia melihat tarian bunga api di langit kota?

Dokter Tian memarkir mobilnya dengan penuh harap. Melangkah pelan menyusuri hamparan pasir putih. Selamat tinggal kesepian. Selamat datang keramaian.

Boleh juga ekspektasinya. Bunga api terus menari di langit. Tak ingin kalah dengan kerlip ratusan bintang. Orang-orang berkumpul, ada yang sendirian dan ada yang berkelompok. Semuanya terlarut dalam keceriaan.

Apa gunanya bersedih? Manusia hanya akan bersedih sendirian. Seisi dunia akan ikut bahagia bila manusia bahagia.

Sedih dan sepinya lesap. Tergantikan semangat dan kebahagiaan. Dokter Tian berbaur dengan sekelompok besar warga keturunan berbaju merah. Dia menunduk menatap pakaiannya sendiri. Putih, rasanya dia ingin tertawa.

"Dokter Tian?"

Tepukan hangat di bahunya menyadarkan. Calvin berdiri di sampingnya, tersenyum menawan.

"Calvinku ada di sini juga..."

"Mana Nyonya Dinda?"

"Dia tak mau merayakan Imlek bersamaku."

"Sayang sekali."

"Dimana Tuanmu?"

"Sudah tidur. Saya balik lagi ke sini."

Tes.

Setetes darah terjatuh ke pasir. Hidung Calvin berdarah. Dokter Tian sigap menyeka darah dengan tissue. Sorot matanya memperingatkan.

Calvin resah, sungguh resah ditatapi seperti itu. Seakan ia manusia terlemah di dunia. Tidak, ia harus buktikan kalau kanker darah bisa dilawan.

**    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun