"Maaf, saya tak sengaja. Maaf..."
Ia bertabrakan dengan sosok tinggi berkepala botak. Kontras dengan sebagian besar penikmat perayaan lainnya, pria ini berwajah tipikal Timur Tengah. Hidungnya mancung dan senyumnya ramah. Ia tetap menawan dalam usia yang tak lagi muda.
"Tidak apa-apa, sayalah yang harus minta maaf. Penglihatan saya menurun belakangan ini."
"Abi..."
Pemuda lain yang sama tinggi dengannya terburu menghampiri. Raut cemas tergurat di wajah.
"Calvin..." kata pria berwajah Timur Tengah itu lembut.
"Saya cemas sekali. Abi jangan jauh-jauh dari saya."
Si pemuda sedikit terengah. Pelan merapikan rambutnya.
Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Seolah memiliki daya magnet, Tuan Effendi meliriknya. Kalau tadi lelaki Middle East yang sudah tua saja masih terlihat tampan, pemuda ini sepuluh kali lipat lebih rupawan. Entah mengapa, Tuan Effendi senang memandang wajahnya. Wajah itu begitu bersih dan tampan. Terlebih kala ia tersenyum. Mata sipit bening di balik wajah putihnya mencerminkan ketenangan dan kelembutan hati. Tubuhnya tinggi, padat berisi, tapi tidak gemuk dan tetap proporsional.
Charming, care, and kind, bisik hati Tuan Effendi. Tanpa sadar dia menilai pemuda itu dari pandangan pertama. Beruntungnya orang tua si pemuda.
** Â Â Â