Demi langit di luar sana yang telah memutih, Revan ikut bahagia. Bukan pura-pura bahagia, tapi sungguh bahagia. Seorang teman akan menikah. Kabar baik, jodoh telah menantinya. Ia pun bisa menyempurnakan separuh agama.
Sejurus kemudian, Revan memeluk si calon mempelai. Pelukan khas Turrki yang hangat dan bersahabat. Tulus diberinya ucapan selamat dan doa. Revan mendoakan kebahagiaan pernikahan temannya, tanpa sedikit pun menyinggung soal keturunan. Bagi Revan, sebuah pernikahan tidak mutlak mendapatkan keturunan.
"Thanks ya, Revan." kata si calon mempelai seraya melepaskan pelukannya.
Tak lama, ia buru-buru pergi. Menyisakan atmosfer positif.
Giliran Revan tiba. Ujiannya cukup lancar. Sebuah privilese ketika dirinya disukai banyak dosen. Mahasiswa istimewa, mahasiswa luar biasa dengan penampilan tak biasa dan segepok prestasi mengagumkan.
Ketika ia keluar dari ruang ujian, koridor itu telah kosong. Tak satu pun teman-temannya duduk menempati barisan kursi. Revan sendirian, sempurna sendirian. Benar-benar kontras saat ia sering menunggui teman-temannya ujian.
Kesepian yang menyergap hatinya ia buang jauh-jauh. Untuk apa merasa sepi? Masih ada Allah di hati.
Perlahan Revan melangkah menyusuri koridor. Baru saja berbelok ke lobi, dua scoope es krim teracung di depan wajahnya.
"Makanya jangan terlalu baik."
Suara sopran seorang gadis. Familiar, batinnya. Sedetik kemudian...
"Yorina," kata Revan tak percaya.