Namanya Yorina Franscoise. Ia berdarah Minahasa-Tionghoa-Prancis. Cantik, populer, humble, dan brilian. Gadis inilah yang telah meluluhkan benteng pertahanan hati Revan.
Gegara Yorina, hati Revan hancur malam itu. Yorinalah yang membuat Revan melajukan mobilnya di atas kecepatan normal. Pria tampan Manado-Borgo itu meluncur ke rumah mewah tepi pantai.
Abi Assegaf tengah merasakan manisnya beribadah bersama istri tercinta. Hati Arlita disusupi kehangatan ketika shalat Isya diimami suaminya sendiri. Kenikmatan ibadah wajib yang belum tentu didapat semua orang.
Gaun panjang Arlita menutup sempurna tubuh rampingnya. Jas mahal yang dikenakan Abi Assegaf menyamankannya dalam shalat. Pasangan suami-istri beda etnis itu terbiasa shalat menggunakan gaun dan jas. Mereka malah menganggap aneh kebanyakan Muslim Indonesia yang memilih sarung dan mukena sebagai properti shalat.
Empat rakaat ditegakkan. Dua kali salam mengakhiri. Usai shalat, mereka tak langsung beranjak. Abi Assegaf dan Arlita membaca beberapa ayat Al-quran, lalu berzikir. Tasbih, tahmid, tahlil, takbir, dan istighfar menyejukkan malam. Baru saja melafazkan istighfar untuk ke32 kalinya...
Brak!
Arlita berteriak. Tasbihnya terjatuh ke karpet. Pintu mushala kecil di samping ruang tamu berdebam terbuka. Sesosok pria tinggi, berambut pirang, dan bermata biru meluncur masuk seolah kakinya dipasangi roda. Sedetik kemudian pria itu terjatuh, tepat di hadapan Abi Assegaf.
"Revan?" panggil Abi Assegaf lembut.
Nyong Minahasa bermarga Tendean itu beringsut pelan. Gesturenya menandakan ia ingin pelukan. Tanpa kata, Abi Assegaf memeluknya. Ia beri Revan pelukan khas Timur Tengah. Darah Turki yang mengalir di tubuhnya membuat Revan terbiasa memeluk dan dipeluk.
"Kenapa, Nak?" tanya Abi Assegaf penuh perhatian.
Di pelukan Abi Assegaf, Revan tak ubahnya seorang anak yang mencari ketenangan ayahnya. Arlita hanya terdiam melihatnya. Tak ingin mengganggu kebersamaan suaminya dengan anak lain yang bukan darah dagingnya.
** Â Â
Semuanya T'lah
Terjadi
Cintaku telah pergi
Dan kini ku sendiri
Tanpa dirimu lagi
Tak mudah menepis cerita indah
Semusim t'lah kulalui
T'lah kulewati tanpa dirimu
Tetapi bayang wajahmu
Masih tersimpan di hati
Tak pernah kubayangkan
Kauputuskan cintaku
Kucoba tuk lupakan
Semua tentang dirimu
Tak mudah
Bagiku melupakanmu
Semusim t'lah kulalui
T'lah kulewati
Tanpa dirimu
Tetapi bayang wajahmu
Masih tersimpan di hati (Marcell-Semusim).
** Â Â
Koridor itu dipenuhi celotehan sejumlah mahasiswa. Ditingkahi bunyi kertas dibolak-balik, derap langkah sepatu, dan bunyi pintu dibuka-tutup. Kalau boleh sedikit mendramatisir, ada pula bunyi detak hati yang berdebar menunggu.
Siapa yang tak berdebar menunggu ujian proposal skripsi? Langkah menuju akhir jenjang studi. Ada gelora kecemasan tersendiri.
"Oh my God...I am nervous!" seru seorang mahasiswi cantik berbaju ketat.
Teman-temannya menyahuti. Menyuarakan hal yang sama. Hanya Revan yang tetap diam. Fokus memperbanyak doa. Tak begitu peduli pada kondisi sekitarnya.
Tiap kali ada mahasiswa yang keluar dari balik pintu coklat berplakat nama dosen penguji itu, ia langsung diserbu rentetan pertanyaan. Seakan tak ada jeda untuk mengambil nafas. Sekali lagi, Revan tak ikut terlarut dalam suasana ketegangan. Lebih baik ia menepi dan berdoa.
Menunggu itu berat. Tapi takkan terasa berat lagi bila dilalui dengan doa. Saat hatinya berangsur tenang, barulah pria blasteran itu bergabung dengan teman-temannya.
"Guys, aku disuruh ganti kajian." lapor seorang mahasiswa berambut gondrong dan berkulit coklat.
"Oh ya? Kenapa?" balas Revan penuh simpati.
"Katanya, kajian itu nggak cocok sama objek penelitianku. Hmmmm...harus belajar lagi. Kajiannya susah."
"I see. Nanti aku bantu kamu."
Setelahnya, Revan menawari beberapa buku teori miliknya untuk dipinjamkan. Wajah si mahasiswa dihiasi senyum senang. Satu pintu kemudahan telah terbuka.
Di antara teman-temannya yang berwajah lokal dan berpenampilan biasa, Revan paling mencolok. Ia sangat tampan. Mata birunya menjadi ciri khas. Orang-orang yang lewat di koridor itu menoleh sekilas, menatap Revan dengan tertarik.
Revan menunggu semua temannya selesai ujian. Ia mendapat giliran terakhir. Tetiba, sesosok mahasiswa berkardigan berlari ke arah mereka. Ekspresi wajahnya bahagia luar biasa.
"Aku lulus!" Ia berseru pada mereka.
Berpasang-pasang mata menatapnya penuh tanya. Si mahasiswa melambaikan lembaran proposalnya.
"Aku lulus tanpa revisi!"
"Wow, selamat ya. Kado pernikahan tuh buatmu."
Refleks Revan melipat dahi. Kado pernikahan? Yakin itu bukan candaan, dia bertanya.
"Kado pernikahan? Memangnya siapa yang mau nikah?"
"Oh iya, Revan kan belum tahu. Lusa teman kita ini mau married."
Demi langit di luar sana yang telah memutih, Revan ikut bahagia. Bukan pura-pura bahagia, tapi sungguh bahagia. Seorang teman akan menikah. Kabar baik, jodoh telah menantinya. Ia pun bisa menyempurnakan separuh agama.
Sejurus kemudian, Revan memeluk si calon mempelai. Pelukan khas Turrki yang hangat dan bersahabat. Tulus diberinya ucapan selamat dan doa. Revan mendoakan kebahagiaan pernikahan temannya, tanpa sedikit pun menyinggung soal keturunan. Bagi Revan, sebuah pernikahan tidak mutlak mendapatkan keturunan.
"Thanks ya, Revan." kata si calon mempelai seraya melepaskan pelukannya.
Tak lama, ia buru-buru pergi. Menyisakan atmosfer positif.
Giliran Revan tiba. Ujiannya cukup lancar. Sebuah privilese ketika dirinya disukai banyak dosen. Mahasiswa istimewa, mahasiswa luar biasa dengan penampilan tak biasa dan segepok prestasi mengagumkan.
Ketika ia keluar dari ruang ujian, koridor itu telah kosong. Tak satu pun teman-temannya duduk menempati barisan kursi. Revan sendirian, sempurna sendirian. Benar-benar kontras saat ia sering menunggui teman-temannya ujian.
Kesepian yang menyergap hatinya ia buang jauh-jauh. Untuk apa merasa sepi? Masih ada Allah di hati.
Perlahan Revan melangkah menyusuri koridor. Baru saja berbelok ke lobi, dua scoope es krim teracung di depan wajahnya.
"Makanya jangan terlalu baik."
Suara sopran seorang gadis. Familiar, batinnya. Sedetik kemudian...
"Yorina," kata Revan tak percaya.
Gadis cantik berpostur tinggi itu tersenyum. Tubuhnya bertumpu anggun pada sepasang sepatu model lama tapi masih bagus yang melekat di kedua kaki jenjangnya. Kalung besar bertatahkan giok melingkari leher putihnya.
"Kamu dibegitukan sama teman-temanmu karena terlalu baik, Revan."
Revan mendesah. Sulit kalau berurusan dengan teman-teman tipe begitu. Dunia mahasiswa, ego kelewat tinggi.
"Kamu hanya didekati saat dibutuhkan, Revan." lanjut Yorina.
Tangan berjari lentik itu terulur. Lembut menggamit tangan Revan. Keduanya berjalan bersisian meninggalkan gedung fakultas.
"Tidak apa-apa kan, kita jalan bersama di kampus?" Yorina berbisik.
"No problem. Jarang yang tahu kehidupan pribadiku. Mereka tahunya aku nggak laku."
Mereka terus berjalan. Kunci mobil melompat dari saku jas Revan. Rush miliknya terparkir di dekat gerbang. Mobil biru itu meluncur mulus.
"Yorina, terima kasih ya. Kamu mau temani aku ujian." Revan berterima kasih dengan tulus.
"Sama-sama. Well, mungkin ini jadi pertemuan kita yang terakhir."
"Maksudmu?"
"Setelah ini, aku tak bisa kemana-mana. Kakakku sakit dan ibuku sudah terlalu tua."
Sambil menyetir, Revan mendengarkan. Jauh di dalam hati, sesuatu runtuh perlahan.
"Sekarang, kakakku harus makan dengan bantuan selang. Aku punya tanggung jawab, Revan."
Mobil melaju menembus padatnya kendaraan. Kaca mobil berembun. Titik-titik gerimis jatuh dari langit.
"Aku tidak mungkin meninggalkannya. Mengertilah."
Cengkeraman Revan pada kemudi mobil bertambah erat. Kemacetan panjang menghalangi. Sukses mengulur waktunya bersama Yorina.
"Aku tak berani menaruh harapan padamu, Yorina." lirih Revan.
"Kau tidak pernah mementingkanku, tidak pernah mementingkan cinta kita."
Yorina menghela nafas. "Tapi kakakku sakit, Revan. Dan ibuku..."
"Apa pun alasannya, kau tidak pernah memprioritaskan. Aku tak ada di hatimu."
Sepasang mata sipit Yorina digenangi kristal bening. Dia tergugu.
"Aku punya tanggung jawab, Revan. Kumohon mengertilah."
"Mungkin aku ingin selibat saja." potong Revan cepat.
"Jangan pernah berkata begitu. Kau terlalu baik untuk selibat."
Terlalu baik untuk selibat? Revan tertawa hambar. Klise sekali.
** Â Â
Abi Assegaf mengelus-elus kening Revan. Dipeluknya anak lelaki yang bukan darah dagingnya itu dengan penuh kasih.
"Tak mudah, Nak. Tak mudah memilih antara keluarga dengan pasangan."
"Yorina selalu mementingkan ibu dan kakaknya, Abi. Tak ada diriku di hatinya."
"Siapa bilang? Siapa yang tahu hati seseorang? Revan anakku, Abi yakin Yorina mencintaimu. Tapi dia belum bisa meninggalkan keluarganya."
"Lalu sampai kapan? Sampai usianya tergerus dan dia jadi perawan tua?"
"Kita tidak pernah bisa memastikan apa yang terjadi saat berikutnya, Sayang."
Tepat pada saat itu, lengan baju Revan tersingkap. Memperlihatkan tangan putihnya. Namun, tangan itu tak lagi putih sempurna. Luka-luka kecil memenuhi kedua tangan Revan. Sebagian luka sudah mengering. Sebagian lagi sejenis luka kotor. Dua luka baru masih mengeluarkan darah.
"Revan anakku, kenapa tanganmu luka-luka begini?" tanya Abi Assegaf khawatir.
Pertanyaannya terjawab seketika. Jarum, pisau kecil, dan cutter menyembul dari saku jas Revan.
"Self abuse." desah Abi Assegaf. Lama mengenal anak Johanis Tendean ini, ia baru tahu kelemahannya. Revan yang tampan dan terlihat istimewa, ternyata sering melukai dirinya sendiri. Itu pulalah alasannya selalu memakai jas dan pakaian berlengan panjang: semata menutupi luka-lukanya.
Abi Assegaf bangkit. Menuntun Revan ke sofa. Lembut mengobati luka-luka Revan. Tubuh yang indah tak pantas dilukai.
** Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H