"Sama sekali tidak merepotkan. Sudah jadi kebiasaan saya, mengajak tamu makan di luar. Iya kan, Arlita?"
"Iya. Suami saya memang begitu. Ayolah, di dekat sini ada resto yang enak." Arlita ikut membantu membujuk.
** Â Â Â
Juru parkir berkaus oranye meniup-niup peluit. Ia memberi aba-aba, mengarahkan mobil ke spasi kosong di area parkir. Tombol power window ditekan. Kaca jendela membuka.
Abi Assegaf trenyuh. Juru parkir itu hanya memiliki empat jari tangan. Segera saja ia mengulurkan dua lembar ratusan ribu. Betapa bahagianya juru parkir itu menerima uang. Nilainya kecil saja di mata Abi Assegaf. Tapi di mata kaum akar rumput, nominalnya besar sekali.
Arlita, Adica, dan Syifa bertukar senyum. Sudah biasa. Perempuan itu terkagum-kagum. Satu banding seratus mobil yang pengemudinya begitu dermawan memberikan ratusan ribu pada juru parkir. Abi Assegaf sedikit di antara pengemudi langka jenis itu.
Lima menit berselang, mereka berlima duduk manis di resto. Sibuk memilih-milih menu. Perempuan berkalung salib itu memilih menu Indonesia. Arlita dan Adica memilih menu Barat. Abi Assegaf seperti biasa tetap konsisten memilih menu Timur Tengah. Hanya Syifa yang tidak ikut memesan makanan.
"Aku mau lemon tea saja," kata gadis itu datar.
Merasa ada yang tidak beres, Abi Assegaf membungkuk mendekatkan wajah ke wajah putrinya. Bertanya lembut alasannya tidak mau makan. Syifa hanya menjawab seadanya. Tak selera makan, jawaban klasik.
Jika sudah tak mau, Syifa takkan mau. Ia tetap minum lemon tea sementara empat orang di kanan-kirinya menyantap makanan. Abi Assegaf membaca keresahan di mata Syifa.
Selesai makan, mereka melanjutkan perjalanan. Kini perempuan itu berinisiatif membuka jendela mobil lalu mengulurkan lembaran uang baru pada si juru parkir. Syifa membulatkan mata curiga. Kamuflase, pikirnya berprasangka.