Mereka bertiga duduk di rumput. Menikmati makan siang bersama. 3 menu, 3 selera, 3 budaya. Deddy melahap nasi hainamnya. Sasmita menyantap sate maranggi, dan menolak dengan senang hati ketika Deddy ingin mencicipi satu tusuk sate. Abi Assegaf hanya bisa menikmati setengah porsi Manakeesh-roti bundar khas Arab berisi sayuran, daging, dan keju-. Sisa rasa mual akibat kemo keenam merusak selera makannya.
"Anorexia lagi ya?" Deddy membungkuk di depannya, takut sekali bila Abi Assegaf memuntahkan makanannya.
"Sudah, sudah. Tidak apa-apa. Minum obatmu. Ini..."
Sasmita menyodorkan segelas air mineral dan pil-pil obat. Dalam hati mengucap bismillah. Berharap Abi Assegaf tak kesulitan menelan lagi seperti waktu itu.
"Bismillah..." Suara gumaman Deddy terdengar jelas. Pria berdarah keturunan itu tak kalah waswas. Ya, Allah, perkara kecil macam minum obat pun bisa berbahaya bila tak hati-hati.
** Â Â
"Masya Allah, punggungku hampir patah."
Deddy merintih pelan, menjatuhkan tubuhnya di ranjang empuk. Tiga asisten rumah tangga bergiliran masuk ke kamarnya. Mengantarkan jus apel, cup cake, dan meletakkan pakaian-pakaian bersih di lemari.
"Tuan Deddy ngapain aja memangnya?" tanya salah satu asisten penasaran.
"Saya mengangkat tubuh Zaki. Ah, tidak...tidak, jangan mengeluh. Deddy, memangnya kamu mau jadi Zaki? Harusnya saya bersyukur." Deddy komat-kamit, lalu memejamkan mata.
Belasan kilometer dari mansion mewah Deddy, Sasmita tafakur. Ia bersujud, lalu menangis. Amat berharap shalatnya diterima setelah lama melepaskan diri dari lingkaran iblis anggur putih.