Dalam kemarahan, tubuh renta Jadd Hamid seakan menggelembung. Ia mengingatkan Abi Assegaf pada tokoh Marjorie Dursley di serial Harry Potter 3.
"Begini akibatnya bila terlalu banyak bergaul dengan kafir dan musyrik itu! Aku kecewa pada Allah yang telah memberiku anak seperti kau!"
"Zaki terima apa pun penilaian Abi. Penilaian manusia takkan mengurangi hisab Allah di akhirat nanti."
Pintu ruang rapat diketuk. Deddy datang, membawa botol obat.
"Tak ada yang mengundang Non-Pribumi kafir sepertimu!" bentak Jadd Hamid garang.
Wajah Deddy seperti baru saja ditampar Anwar Congo, algojo di masa PKI 1965. Sepasang mata sipit di balik wajah putihnya mengerjap pelan. Jelas itu penghinaan besar. Deddy saudara seiman Jadd Hamid. Stereotip, semua ini karena stereotip.
"Maaf, saya telah mengganggu seorang ayah yang menyiksa anaknya secara verbal." kata Deddy tajam. Seisi ruangan menahan nafas. Deddy saingan berat Jadd Hamid bila menyangkut ucapan blak-blakan dan to the point.
"Tapi saya harus mengingatkan Zaki karena ini sudah waktunya minum obat. Dia tidak boleh terlambat meminum obatnya. Tugas ini lebih pantas dilakukan ayah kandungnya, tapi...yah, we know-lah ayah kandungnya sebejat apa. Meninggalkan anak yang sakit, malah sibuk memanjakan istri baru rasa pelakor."
Tajam, tajam sekali perkataan Deddy. Efeknya ampuh untuk Jadd Hamid. Ia bungkam. Sempurna membeku di kursinya.
Mendapati wajah-wajah tegang di sekeliling ruangan, Deddy stay cool. Anak bungsu keluarga konglomerat itu mendekati bangku di samping podium.
"Ayo, Assegaf. Kita keluar. Kau tak layak terus disiksa ayahmu. Sini, kubantu."