Mudah saja Deddy mengangkat tubuh Abi Assegaf dan mendudukkannya di kursi roda. Didorongnya kursi roda meninggalkan ruang rapat. Belasan pasang mata tertuju padanya. Deddy balas menatap mereka dengan tatapan paling arogan yang ia miliki.
Derit roda-roda kursi terdengar di sepanjang koridor. Wajah Abi Assegaf lebih pucat dari sebelumnya. Masih terekam jelas penyiksaan verbal bertubi-tubi yang dilayangkan Jadd Hamid.
Sensitivitas Abi Assegaf begitu tinggi. Ia tak secuek Deddy, tak seceria Arlita dalam menanggapi bullying haters, tak pula se-cool Adica. Bukan, ini bukan haters biasa. Ayah kandungnya sendiri yang melayangkan hate speech.
"Jangan dipikirkan." tukas Deddy singkat, seolah membaca isi hatinya.
"Deddy, apa salahku? Mengapa Abi Hamid begitu membenciku? Aku juga tidak ingin dilahirkan. Bahkan, aku tak ingin lahir dari keturunannya bila aku boleh memilih." ungkap Abi Assegaf sedih.
Deddy tersenyum pahit. Sayangnya, kita tak bisa memilih dari mana kita dilahirkan.
"Anggap itu tak pernah terjadi. Memang berat, aku bisa merasakannya. Kau ingat John? Kakakku yang brengsek itu sama vokalnya seperti ayahmu setelah aku jadi mualaf."
Mereka tiba di halaman belakang studio. Sasmita telah menanti. Melihat raut kesedihan di wajah Abi Assegaf, ruang pemahaman terbuka seketika. Sejurus kemudian, Sasmita bangkit dari rumput. Meletakkan gelas plastik berisi cappucino begitu saja, lalu mengambil alih kursi roda dari tangan Deddy.
"Jangan sedih," hiburnya.
"Tak baik jelang liburan panjang begini bersedih. Kalau Abi Hamid jahat, kau boleh ambil Abah Jatmika untukmu. Aku siap berbagi."
Demi Allah, tak ada yang berubah. Tiga sahabat beda etnis itu tetaplah saling mengerti dan melengkapi. Sadar dua sahabatnya produk-produk keluarga tak bahagia, Sasmita rela berbagi kasih sayang ayahnya dengan mereka. Ayah Sasmita seumuran Jadd Hamid. Seorang ulama di kampungnya sekaligus juragan tanah, beras, dan balong (kolam tempat pemancingan ikan).