"Kakiku kakimu juga, Zaki Sayangku. Bukankah kita ini satu?" Arlita berkata retoris, memaksakan senyum menawan.
"Aku akan jadi orang pertama yang menemanimu kemana saja bila itu terjadi," janji Sasmita. Lalu ia melanjutkan seraya menundukkan wajah. "Walau kakiku paling pendek dan aku tidak setinggi Deddy."
"Mana mungkin aku tidak menjaga sahabatku? Dari dulu kau sering sakit, Assegaf. Aku malah akan khawatir bila tak bisa menjagamu lagi." timpal Deddy dengan gaya khasnya.
Senyuman merekah di wajah pucat Abi Assegaf. Bagaimana pun kondisinya, itu takkan mengubah kasih sayang di hati orang-orang terdekat. Mereka tetap ada untuknya, tetap mencintainya sepenuh jiwa.
** Â Â Â
Jadd Hamid menggebrak meja. Gelas berisi kopi Gayo bergetar. Sedikit isinya tumpah membasahi taplak. Kue-kue kecil di piring kertas seolah mengerut ketakutan, menyaksikan amarah komisaris utama Refrain Radio.
Suasana ruang rapat memanas. Atmosfer ketakutan menggantung berat di udara. Bukan Jadd Hamid namanya bila tak bisa membuat hati semua orang gentar.
Perkara super rasis dan intoleran dibawa-bawa ke forum. Jadd Hamid menentang diadakannya program siaran langsung Misa Natal dari Gereja Katedral. Abi Assegaf memperjuangkan program itu agar tetap berlanjut. Ia punya argumen kuat.
"Abi, tidakkah Abi kasihan pada pendengar kita yang Kristen dan Katolik? Kebutuhan mereka akan siaran ruang agama patut diakomodir." Abi Assegaf melemparkan argumennya.
"Jangan membantahku, Zaki! Sekali tidak, tetap tidak!" hardik Jadd Hamid.
"Abi, Zaki tetap melanjutkan program itu." ucap Abi Assegaf, tegas dan berwibawa.