Senyum merekah di wajah tampan violinis muda itu saat melihat deretan lagu baru di playlist. Akhirnya lagu ini dikirimkan juga, pikirnya. Sejak kemarin, ia menginginkan lagu itu terputar di Refrain Radio.
Klik.
Tetikus berbunyi pelan, terarah ke lagu baru. Adica bersandar di kursinya, mulai mendengarkan dan menikmati lagu.
Harta yang paling berharga adalah keluarga
Istana yang paling indah adalah keluarga
Puisi yang paling bermakna adalah keluarga
Mutiara tiada tara adalah keluarga
Selamat pagi Emak
Selamat pagi Abah
Mentari hari ini berseri indah
Terima kasih Emak
Terima kasih Abah
Untuk tampil berkesan
Bagi kami
Putra-putri yang siap berbakti
Puisi yang paling bermakna adalah keluarga
Mutiara tiada tara adalah keluarga
Selamat pagi Emak (Sayang)
Selamat pagi Abah Sayang... (Bunga Citra Lestari-Harta Berharga).
Bibirnya bergerak-gerak, ikut menyenandungkan lirik lagu dengan suara pelan. Lagu ikonik yang diaransemen dan dinyanyikan ulang dengan bagus, begitu kesannya. Sebuah lagu yang tepat untuk mengawali program Harmoni Pagi.
"97.6 FM Refrain Radio, Brilian and Inspiratif. Selamat pagi, pendengar. Apa kabar? Semoga lagu tadi bisa menjadi penyemangat untuk Anda memulai aktivitas di pagi hari ini. Saya, Adica Wirawan Assegaf, akan menemani Anda hingga jelang pukul sembilan nanti."
Opening statement. Ringan, hangat, bersahabat, dan singkat saja. Adica menyapa pendengar dengan suara empuknya.
Pagi berhujan ini menjadi lebih hangat dengan lagu-lagu easy listening dan suara empuk sang violinis. Sejumlah staf yang ikut mendengarkan, mulai membaik mood-nya. Namun, tidak semuanya begitu.
Masih banyak yang tak menyukai Adica. Terlebih, sejak ia diadopsi Abi Assegaf. Kali ini, bukan lagi Deddy dan Sasmita yang mengibarkan bendera perang. Justru staf-staf perempuan yang mencari masalah.
Ruangan divisi promosi memanas oleh bisikan-bisikan negatif. Mereka membicarakan soal project sandiwara radio yang akan dieksekusi hari ini. Mereka iri, iri lantaran Adica hanya memasukkan nama-nama tertentu sebagai pemeran dalam naskah itu. Ada project berarti ada uang. Para staf perempuan itu sama sekali tidak dilibatkan. Mereka menginginkan uang tambahan dari proyek-proyek semacam itu. Namun, harapan tinggal harapan.
Lain lagi dengan Abi Assegaf. Ia yang meloloskan, ia pula yang memberikan uang yang seharusnya jadi miliknya dalam proyek itu untuk orang lain. Baginya, uang insentif tambahan dalam proyek sangat kecil nilainya. Ia malah berbagi untuk cleaning service Refrain.
Lihatlah, betapa berbedanya para pekerja radio yang bekerja dengan hati dan yang bekerja demi uang. Mereka yang kaya bekerja dengan hati. Tidak materialistis, tidak menjatuhkan orang lain demi materi.
Selesai siaran Harmoni Pagi, Adica didatangi Abinya. Seperti biasa, Abi Assegaf memeluknya hangat. Anak perempuan dan anak lelaki diperlakukannya sama. Mereka sama-sama mendapat pelukan dan ciuman kening. Sudah biasa, benar-benar sudah biasa.
"Adica anakku, ayo kita ke ruang rekaman. Sebentar lagi produksi sandiwara radio." ajak Abi Assegaf.
Adica mengangguk. Mengulurkan tangan, ingin membantu Abinya berjalan. Namun, Abi Assegaf menolak. Pagi ini, dia cukup kuat berjalan sendiri.
Interaksi ayah dan anak laki-laki itu ternyata sulit dicerna nalar mereka yang berpikiran kotor dan picik. Ada yang menganggap Abi Assegaf dan Adica terlalu berlebihan mengekspresikan rasa sayang. Sedikit di antara mereka menduga Abi Assegaf punya orientasi seksual yang menyimpang. Bodohnya mereka yang berpikiran begitu. Jelas-jelas Abi Assegaf punya istri, dan Adica punya Syifa. Konteks kemesraan ayah dan anak berbeda dengan konteks kemesraan sepasang kekasih.
** Â Â Â
Tiba di ruang rekaman, mereka disambut kejutan tak menyenangkan. Jadd Hamid-ayah Abi Assegaf-menunggu bersama jajaran komisaris Refrain Radio yang kesemuaannya masih termasuk lingkaran keluarga besar. Begitu melihat sang ayah, Abi Assegaf menyalami dan memeluknya. Jadd Hamid dingin-dingin saja menyambut pelukan putra tunggalnya. Adica canggung, dari dulu ia tak pernah dekat dengan sosok yang harus dia panggil Kakek itu.
"Adica anakku, Jadd Hamid datang. Salaman dulu, Sayang."
Seperti menyuruh anak kecil saja. Dengan malu, Adica menyalami Jadd Hamid.
"Sobahul khair, Jadd Hamid." kata Adica ragu. Bahasa Arabnya masih terpatah-patah. Abi Assegaf sedikit mengajarinya.
"Jangan panggil aku Jadd! Cucuku hanya Asyifa!" balas Jadd Hamid kasar.
Adica tertunduk. Abi Assegaf mengusap-usap lembut punggungnya.
"Abi, tolong jangan begitu...Adica cucu Abi juga."
Sedikit aneh rasanya mendengar Abi Assegaf memanggil orang lain dengan sebutan Abi. Jadd Hamid mengepalkan tangan. Wajah keriputnya menahan murka.
"Jangan mengaturku, Zaki! Aku ini ayahmu!"
"Ayah yang meninggalkan anaknya saat anaknya sakit dan lebih memilih bersama istri barunya..."
Suara Abi Assegaf memelan. Hati Adica teriris. Ia sudah tahu masa lalu kelam Abi Assegaf dengan Jadd Hamid. Kakeknya ini telah meninggalkan Abi Assegaf dalam kodisi sakit bertahun-tahun lalu.
Kedatangan sejumlah pemain sandiwara radio mengurai ketegangan. Mereka duduk memenuhi kursi-kursi di ruang rekaman. Tak tega melihat Abinya berdiri terlalu lama, Adica bangkit memberikan kursinya.
"Tidak usah. Kamu duduk saja, Sayang." tolak Abi Assegaf, lembut menahan tubuh Adica.
"Tapi aku tidak tega melihat Abi berdiri terlalu lama..."
"Tidak apa-apa Sayang, tidak apa-apa."
Mata tajam Jadd Hamid menatap angkuh ayah dan anak itu. Sampai kapan pun, ia takkan mengakui Adica sebagai cucunya. Telah banyak laporan yang diterimanya tentang Adica. Sejumlah staf berpikiran picik dan kotor menyebarkan laporan bernada negatif.
Jauh di dalam hati, pria 89 tahun itu kecewa pada Abi Assegaf. Kecewa sebab putranya infertilitas sekunder, terlalu lemah untuk menyentuh Arlita dan memberikan anak laki-laki. Dia malah mengangkat anak lain. Anak yang sama sekali berbeda dari mereka.
Rasa tak nyaman membanjiri hati Adica. Terdorong perasaan itu, diketikkannya pesan Whatsapp untuk Arlita.
"Ummi, Jadd Hamid datang ke radio. Firasatku tidak enak. Aku khawatir Abi Zaki disakiti lagi sama Jadd Hamid."
Teks terkirim. Tak lama, layar berpendar biru. Arlita hanya membalas dua huruf: ok. Adica menatap nanar layar iPhonenya. Apa maksud Arlita dengan kata 'ok'?
Para pemain mulai berlatih dialog. Adica, yang menyusun dan memahami isi cerita, memperhatikan mereka. Ia merasa Abi Assegaflah yang paling menjiwai perannya. Dibandingkan pemain lainnya, Abi Assegaf yang terbaik.
Jadd Hamid mengawasi dengan wajah dingin tanpa ekspresi. Ia tak terkesan dengan putranya. Tingkah Jadd Hamid membuat Adica geram. Bagaimana mungkin Abi Assegaf yang berhati lembut ternyata dibesarkan sosok ayah berhati beku?
Lima menit sebelum take, Arlita datang. Ia melangkah anggun memasuki ruang rekaman. Maxi dress biru muda dipadu hijab berwarna senada mempercantik penampilannya.
"Zaki Sayangku...good luck." ujar Arlita hangat, memeluk dan mencium pipi Abi Assegaf.
Kedua alis Jadd Hamid terangkat. Ia bergumam.
"Ini dia, menantuku yang memalukan."
Arlita membalikkan tubuh. Tersenyum kaku pada ayah mertuanya, lalu menyapa.
"Selamat pagi, Abi Hamid."
"Lebih baik selamat pagi atau Assalamualaikum?"
Pandai sekali Jadd Hamid mengeruhkan suasana hati orang. Keramahan Arlita ditanggapi sinis. Tangan Abi Assegaf menggenggam erat jemari istrinya. Berbisik menenangkan.
Arlita menggigit bibir bawahnya. Perih, perih sekali disakiti terus-menerus oleh sang ayah mertua. Namun, sudah menjadi risiko. Hamid Assegaf setengah hati merestui pernikahan Zaki Assegaf dengan wanita mualaf. Saat pernikahan kedua pun, Jadd Hamid tak datang. Hijab yang kini menutup rambut Arlita pun tak mengubah penilaiannya.
Satu tanda tanya besar di kepala Arlita: mengapa tetiba Jadd Hamid datang ke Refrain? Sangat jarang Jadd Hamid mengunjungi studio. Ia bahkan cenderung tak peduli pada kelangsungan hidup radio yang dipimpin putranya. Seolah membaca isi hati Arlita, Jadd Hamid berkata.
"Aku mendengar banyak laporan negatif tentang Adica dan Zaki. Aku harus tahu apa yang terjadi."
"Tidak ada apa-apa, Abi. Adica itu anakku, wajar bila aku menunjukkan rasa sayangku padanya." bantah Abi Assegaf halus.
Kerutan dalam terbentuk di atas alis Jadd Hamid. Tangan Adica terkepal erat di pangkuannya. Pastilah staf-staf perempuan itu yang mengadu. Ketulusan dalam dunia kerja sering kali disalahartikan.
"Abi, menurut Arlita tidak ada yang salah. Anak dan ayah di satu kantor yang sama, lalu saling..."
"Diam! Aku tak meminta pendapatmu! Lagi pula, Adica bukan anak kandung Zaki!"
Luar biasa. Kurang dari satu jam, Jadd Hamid telah melukai dua hati.
Kristal-kristal bening berjatuhan membasahi pipi Arlita. Melihat itu, Adica dan Abi Assegaf terenyak. Jadd Hamid kelewatan.
"Abi, sebenarnya mau apa Abi datang ke sini? Bukakah selama ini Abi tidak pernah peduli pada Refrain? Tak peduli juga pada Zaki...?" lirih Abi Assegaf.
"Jangan harap aku akan peduli pada anak yang telah mengecewakanku." sahut Jadd Hamid dingin.
Luka lama kembali terbuka. Abi Assegaf merasa dirinya kembali menjadi anak yang ditinggalkan, diabaikan, dan kehilangan perhatian. Semuanya berubah sejak Tamara Shihab-ibu kandungnya-meninggal dunia.
"Aku sudah berusaha yang terbaik, Abi. Aku menjalankan bisnis Assegaf Group sebaik-baiknya. Mata Abi belum terbuka untuk melihatnya..."
"Bagiku, kau tetap anak yang mengecewakan. Kau bukan anak yang kuharapkan, Zaki."
"Stop!"
Di luar dugaan, Adica berteriak. Ia meneriaki kakeknya sendiri. Mata di balik kacamata persegi itu melebar. Tak ada, tak ada yang pernah meneriakinya sebelumnya.
Adica tak bisa, sungguh tak bisa mendengar orang yang dicintainya tersakiti. Ia ingin menjaga hati mereka yang ia cintai agar tidak merasakan sakit. Wajah Jadd Hamid memerah.
"Beraninya kau meneriakiku, anak muda! Sekarang juga kau kupecat!"
"Saya tidak takut! Saya tidak masalah dipecat asalkan masih bisa bersama Abi Assegaf! Tanpa radio pun, saya masih tetap kaya! Pecat saja saya, tapi cinta saya pada Abi Assegaf dan Refrain takkan pudar!"
Inilah bedanya Adica dengan staf-staf materialistis itu. Adica tidak pernah mencari keuntungan finansial selama bekerja di radio. Ia bersiaran dengan hati. Dia menikmati, dan tidak menganggapnya sebagai beban.
Abi Assegaf memeluk Adica erat. Sungguh dia menyesali sikap ayahnya. Tak seharusnya sang ayah bersikap sekasar itu pada cucunya sendiri.
Terlihat jelas. Mana yang bekerja dengan hati, mana yang bekerja demi materi. Mereka yang bekerja dengan hati takkan menyingkirkan orang lain demi uang semata.
** Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H