Kedatangan sejumlah pemain sandiwara radio mengurai ketegangan. Mereka duduk memenuhi kursi-kursi di ruang rekaman. Tak tega melihat Abinya berdiri terlalu lama, Adica bangkit memberikan kursinya.
"Tidak usah. Kamu duduk saja, Sayang." tolak Abi Assegaf, lembut menahan tubuh Adica.
"Tapi aku tidak tega melihat Abi berdiri terlalu lama..."
"Tidak apa-apa Sayang, tidak apa-apa."
Mata tajam Jadd Hamid menatap angkuh ayah dan anak itu. Sampai kapan pun, ia takkan mengakui Adica sebagai cucunya. Telah banyak laporan yang diterimanya tentang Adica. Sejumlah staf berpikiran picik dan kotor menyebarkan laporan bernada negatif.
Jauh di dalam hati, pria 89 tahun itu kecewa pada Abi Assegaf. Kecewa sebab putranya infertilitas sekunder, terlalu lemah untuk menyentuh Arlita dan memberikan anak laki-laki. Dia malah mengangkat anak lain. Anak yang sama sekali berbeda dari mereka.
Rasa tak nyaman membanjiri hati Adica. Terdorong perasaan itu, diketikkannya pesan Whatsapp untuk Arlita.
"Ummi, Jadd Hamid datang ke radio. Firasatku tidak enak. Aku khawatir Abi Zaki disakiti lagi sama Jadd Hamid."
Teks terkirim. Tak lama, layar berpendar biru. Arlita hanya membalas dua huruf: ok. Adica menatap nanar layar iPhonenya. Apa maksud Arlita dengan kata 'ok'?
Para pemain mulai berlatih dialog. Adica, yang menyusun dan memahami isi cerita, memperhatikan mereka. Ia merasa Abi Assegaflah yang paling menjiwai perannya. Dibandingkan pemain lainnya, Abi Assegaf yang terbaik.
Jadd Hamid mengawasi dengan wajah dingin tanpa ekspresi. Ia tak terkesan dengan putranya. Tingkah Jadd Hamid membuat Adica geram. Bagaimana mungkin Abi Assegaf yang berhati lembut ternyata dibesarkan sosok ayah berhati beku?