Kediaman utama sangat mewah. Beberapa bangunan besar menjulang angkuh dilatarbelakangi pemandangan bukit. Eits, jangan salah. Ini bukanlah rumah masa kecil Syifa. Asyifa Assegaf belum lahir saat itu.
Rumah yang paling besar didominasi warna putih. Bangunan tiga lantai berhalaman luas dan ditumbuhi beberapa pohon. Ada pula rumah pohonnya. Dari halaman depan berumput hijau, terlihat garasi luas dengan enam mobil mewah terparkir di dalamnya.
Saat Arlita masuk ke dalam, ia disambut foyer penuh perabotan klasik. Hiasan ayat suci Al-quran terpajang di dinding. Arlita menatap lampu kristal keemasan yang memancarkan cahaya lembut. Sebentuk grand piano cantik berdiri di seberang ruangan. Dua buah kursi diletakkan di depan piano.
"Assegaf?" panggil Arlita, pelan dan hati-hati.
Pria muda tampan berjas dark blue di kursi piano membalikkan tubuh. Tersenyum tipis melihat sosok cantik Arlita dalam balutan dress putih. Ia bangkit, lalu memeluk pinggang Arlita.
"Sudah berkurang sakitnya? Kenapa kamu malah duduk di sini, bukannya istirahat?" kecam Arlita pelan. Memajukan bibirnya, membuat Zaki Assegaf tersenyum rindu. Lama tak ia lihat ekspresi menggemaskan itu.
"Penyakitku menunjukkan toleransinya hari ini, Arlita."
Arlita dan Assegaf saling tatap. Menyalurkan cinta ke kedalaman hati.
"Aku takut kondisimu bertambah parah, Assegaf." Arlita mengungkap kecemasannya.
"Jangan berpikiran begitu. Semuanya akan baik-baik saja."
Hening sejenak. Arlita menyandarkan kepalanya ke dada Assegaf. Pria Arab-Indonesia itu menanyai Arlita tentang apa yang dilakukannya hari ini. Dengan senyum puas, Arlita bercerita.
"Deddy mentraktirku Pork Knuckle di Meaters Steak & Ribs. Enak sekali. Seleranya tinggi juga. Kelezatan daging babi mengalahkan daging lainnya. Aku suka menu itu, tapi sayangnya haram...jadi, aku tidak bisa menikmatinya bersamamu."
Begitu antusiasnya Arlita bercerita tentang menu non-halal. Sampai-sampai ia tak menyadari perubahan ekspresi wajah Assegaf. Ia masih tak sadar juga saat Assegaf mulai merapatkan tubuh padanya. Jemari lentiknya sedikit bergetar saat mulai memainkan piano.
Duhai diri
Ubahlah arusmu
Jadi arah
Yang dia sukai
Rendahkanlah hatimu
Duhai alam
Hujani dia dengan
Cinta dan
Hatinya yang terbuka
Aku menyayanginya
Dan terbukalah hatimu
Ada jalan untukku
Milikimu, sayangimu
Dan terbukalah hatimu
Ada jalan untukku
Milikimu, sayangimu (Yura Yunita-Buka Hati).
Kata adalah doa. Untaian lirik lagu pun bisa didaraskan menjadi doa pada Yang Maha Cinta. Arlita dan Assegaf menyanyikan lagu itu.
Sebagian isi lagu mengingatkan Assegaf pada perasaannya sendiri. Ingatkan dirinya akan doa-doa yang dilantunkannya tiap sepertiga akhir malam. Seuntai doa untuk Arlita agar hatinya melembut dan terbuka. Terbuka menerima cahaya Ilahiyah yang baru.
"Hei, are you ok?" Arlita bertanya lembut. Tersadar melihat betapa pucatnya wajah Assegaf.
Assegaf menghela nafas berat. Dingin, dingin yang tak ada hubungannya dengan air conditioner yang masih menyala, menjalari seluruh tubuh. Dadanya terasa sakit, sakit sekali.
"Perasaanku tidak enak..." lirihnya di sela helaan nafas yang melemah.
"Kenapa?" Arlita membungkuk, meletakkan tangannya di kening kekasih hatinya.
Suhu panas mengaliri tangan Arlita. Balon kecemasan menggelembung. Mengapa semuanya berubah begitu cepat?
"Arlita..."
"Ya?"
"Tolong berhenti menyebut halal-haram. Cerita tentang itu membuat perasaanku tidak enak."
Sungguh, Arlita dibuat kebingungan dengan sikap Assegaf. Sangat tak biasa. Pria belahan jiwanya yang biasanya tenang, lembut, dan berwibawa, kini terlihat sangat gelisah dan sedih. Tidak hanya itu. Dia seperti menyembunyikan rasa sakit.
"Mengapa perasaanmu tidak enak, Sayang?" selidik Arlita.
"Aku tidak tahu. Tapi...terasa sakit di sini." Assegaf menunjuk dadanya.
Psikosomatis lagikah? Arlita melipat dahi. Ya, Tuhan, ia takut sekali bila kekasihnya sudah begitu. Tanpa kata, dipeluknya Assegaf erat. Berharap kesakitan Assegaf berpindah padanya.
** Â Â Â
Sejak ibu kandung Zaki Assegaf meninggal dan pernikahan Hamid Assegaf dengan istri barunya, kediaman utama sangat sepi. Hamid Assegaf lebih sering menghamburkan uang dan waktunya untuk melakukan perjalanan keliling Indonesia bersama sang istri. Meninggalkan putra tunggal yang sedang sakit berjuang sendirian.
Zaki Assegaf hanya bisa melabuhkan sepinya dengan ibadah. Ia shalat dan berzikir. Mendoakan orang-orang yang dicintai. Jarang, jarang sekali ia berdoa untuk diri sendiri.
Mushala teduh di samping kolam renang menjadi tempat pelariannya. Ia bersujud begitu lama. Melagukan pujian, mendaraskan doa pada Allah dilatarbelakangi desir air dari kejauhan. Ukiran kaligrafi bertuliskan ayat Kursi terukir indah di dinding mushala.
Butuh waktu cukup lama untuk berpindah posisi. Punggungnya terasa sangat sakit. Setelah berpindah posisi, ia kembali berdoa. Sedikit menengadahkan wajah, menatapi ukiran kaligrafi.
"Ya, Allah, aku hanya bisa menitipkan rahasia hatiku padamu. Aku sedih, sedih sekali ketika Arlita menceritakan hal itu. Cerita tentang halal-haram justru membuatku merasa semakin jauh darinya. Tembok pemisah di antara aku dan dirinya begitu tinggi. Bukalah hatinya...bukalah hatinya agar mau memeluk cahaya Ilahiyah yang baru. Aku percaya, segala yang tak mungkin akan menjadi mungkin bila Engkau mengizinkan."
Dorongan frustrasi teramat kuat. Penglihatannya memburam. Dalam pandangannya, ia lihat babi-babi berlarian di atas kaligrafi. Binatang-binatang lucu sekaligus haram itu membiaskan betapa tinggi tembok pemisah antara dirinya dan Arlita. Arlita Maria Anastasia, wanita yang sangat ia butuhkan. Wanita yang selalu ia sebut namanya di setiap doa.
Assegaf hanya butuh Arlita sebagai pendamping hidupnya. Namun, di tengah realita, masih mungkinkah itu terjadi?
Usai shalat, Assegaf melangkah tertatih keluar mushala. Arlita menantinya di depan kolam renang. Lengannya terentang, memeluk Assegaf untuk kali kedua.
"Assegaf, maaf bila aku sudah menyinggung perasaanmu. Aku janji takkan menyebut-nyebut sesuatu yang haram lagi." kata Arlita memohon, matanya berkaca-kaca.
"Arlita, aku mencintaimu."
"Aku cinta Zaki Assegaf."
Tes.
Setetes darah terjatuh dari hidung Assegaf. Refleks Arlita mengeratkan pelukan. Lembut tangannya mengusap noda-noda darah. Ada luka di mata itu. Mata pria yang sangat membutuhkannya. Assegaf butuh Arlita, sangat membutuhkannya.
Ruang pemahaman membuka di hati. Arlita memahami, Assegaf sangat memerlukannya. Assegaf hanya menunjukkan sisi rapuhnya pada Arlita. Di depan semua orang, dia bisa terlihat baik-baik saja. Namun, tidak di depan wanita cantik Indo-Jerman ini.
** Â Â Â
Larut malam, Arlita pulang ke rumahnya. Rumah besar bergaya Skandinavia itu kosong. Mama-Papanya ada perjalanan bisnis ke Singapore. Praktis, rumah dua lantai itu hanya ditempatinya bersama dua orang asisten rumah tangga.
Baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu, ia dikagetkan oleh sosok Deddy yang terlelap di sofa. Dibangunkannya rekan sesama penyiar itu. Deddy terbangun kaget.
"Bagus ya, kamu baru pulang jam segini. Aku menunggumu dari tadi." Deddy bergumam mengantuk, bersiap tidur lagi.
"No no! Kalau mau tidur lagi, jangan di sofa! Aku tuan rumah yang jahat kalau membiarkan tamuku sakit punggung karena kebanyakan tidur di tempat yang tidak layak untuk tidur!"
Deddy kembali membuka mata. Ia menegakkan posisi duduknya. Arlita terburu-buru membuatkan teh. Tak tega membangunkan asisten rumah tangganya.
"Aku menemani Zaki sampai dia tidur," Arlita menjelaskan tanpa ditanya.
"Dia baik-baik saja, kan?" Deddy berujar khawatir.
"Entahlah. Tak bisa dibilang sepenuhnya baik-baik saja. Dia kelihatan aneh sekali saat kuceritakan tentang Pork Knuckle."
Mendengar itu, Deddy menggebrak meja. Benda marmer itu bergetar hebat. Disambuti teriakan ketakutan Arlita. Gawat bila meja marmer itu rusak.
"Arlita bodoh!" maki Deddy.
Kedua alis Arlita terangkat. Tengah malam begini, ada yang cari gara-gara padanya?
"Zaki itu lembut hatinya, lembut sekali. Soal perbedaan agama jadi sesuatu yang super sensitif buat dia. Kalau kamu cerita soal makanan non-halal, sama saja kamu membuka luka hatinya. Perbedaan agama itu melukai hatinya, Arlita."
Wajah Arlita memias. Hatinya tersayat-sayat perih. Demi Tuhan, demi Bunda Maria, apa yang telah dia lakukan?
"Pantas saja dia tambah sakit! Lain kali, jangan sebut-sebut apa pun tentang perbedaan agama di antara kalian!"
Terus saja Deddy menumpahkan kemarahan. Arlita menundukkan wajah. Benaknya dihantam rasa bersalah. Dengan nafas memburu, Deddy melanjutkan.
"Zaki sangat butuh kamu. Tapi, di antara kalian masih ada banyak kendala besar. Seharusnya kamu mengerti."
"Aku tahu Zaki butuh diriku. Bila aku masuk Islam..."
"Kamu harus serius. Jangan jadi pemeluk Islam yang setengah-setengah. Boleh kamu masuk Islam karena cinta. Tapi, setelah jadi mualaf, bersungguh-sungguhlah menjalankan perintah agama."
Kedua bahu Arlita bergetar. Ada panggilan hati yang lain. Bisikan lembut memanggilnya. Bisikan bahwa dia dibutuhkan, benar-benar dibutuhkan orang lain. Cinta itu bukan sekedar hasrat dan intimasi. Cinta itu tumbuh dari rasa membutuhkan yang teramat kuat.
**Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H