Assegaf menghela nafas berat. Dingin, dingin yang tak ada hubungannya dengan air conditioner yang masih menyala, menjalari seluruh tubuh. Dadanya terasa sakit, sakit sekali.
"Perasaanku tidak enak..." lirihnya di sela helaan nafas yang melemah.
"Kenapa?" Arlita membungkuk, meletakkan tangannya di kening kekasih hatinya.
Suhu panas mengaliri tangan Arlita. Balon kecemasan menggelembung. Mengapa semuanya berubah begitu cepat?
"Arlita..."
"Ya?"
"Tolong berhenti menyebut halal-haram. Cerita tentang itu membuat perasaanku tidak enak."
Sungguh, Arlita dibuat kebingungan dengan sikap Assegaf. Sangat tak biasa. Pria belahan jiwanya yang biasanya tenang, lembut, dan berwibawa, kini terlihat sangat gelisah dan sedih. Tidak hanya itu. Dia seperti menyembunyikan rasa sakit.
"Mengapa perasaanmu tidak enak, Sayang?" selidik Arlita.
"Aku tidak tahu. Tapi...terasa sakit di sini." Assegaf menunjuk dadanya.
Psikosomatis lagikah? Arlita melipat dahi. Ya, Tuhan, ia takut sekali bila kekasihnya sudah begitu. Tanpa kata, dipeluknya Assegaf erat. Berharap kesakitan Assegaf berpindah padanya.