** Â Â Â
Sejak ibu kandung Zaki Assegaf meninggal dan pernikahan Hamid Assegaf dengan istri barunya, kediaman utama sangat sepi. Hamid Assegaf lebih sering menghamburkan uang dan waktunya untuk melakukan perjalanan keliling Indonesia bersama sang istri. Meninggalkan putra tunggal yang sedang sakit berjuang sendirian.
Zaki Assegaf hanya bisa melabuhkan sepinya dengan ibadah. Ia shalat dan berzikir. Mendoakan orang-orang yang dicintai. Jarang, jarang sekali ia berdoa untuk diri sendiri.
Mushala teduh di samping kolam renang menjadi tempat pelariannya. Ia bersujud begitu lama. Melagukan pujian, mendaraskan doa pada Allah dilatarbelakangi desir air dari kejauhan. Ukiran kaligrafi bertuliskan ayat Kursi terukir indah di dinding mushala.
Butuh waktu cukup lama untuk berpindah posisi. Punggungnya terasa sangat sakit. Setelah berpindah posisi, ia kembali berdoa. Sedikit menengadahkan wajah, menatapi ukiran kaligrafi.
"Ya, Allah, aku hanya bisa menitipkan rahasia hatiku padamu. Aku sedih, sedih sekali ketika Arlita menceritakan hal itu. Cerita tentang halal-haram justru membuatku merasa semakin jauh darinya. Tembok pemisah di antara aku dan dirinya begitu tinggi. Bukalah hatinya...bukalah hatinya agar mau memeluk cahaya Ilahiyah yang baru. Aku percaya, segala yang tak mungkin akan menjadi mungkin bila Engkau mengizinkan."
Dorongan frustrasi teramat kuat. Penglihatannya memburam. Dalam pandangannya, ia lihat babi-babi berlarian di atas kaligrafi. Binatang-binatang lucu sekaligus haram itu membiaskan betapa tinggi tembok pemisah antara dirinya dan Arlita. Arlita Maria Anastasia, wanita yang sangat ia butuhkan. Wanita yang selalu ia sebut namanya di setiap doa.
Assegaf hanya butuh Arlita sebagai pendamping hidupnya. Namun, di tengah realita, masih mungkinkah itu terjadi?
Usai shalat, Assegaf melangkah tertatih keluar mushala. Arlita menantinya di depan kolam renang. Lengannya terentang, memeluk Assegaf untuk kali kedua.
"Assegaf, maaf bila aku sudah menyinggung perasaanmu. Aku janji takkan menyebut-nyebut sesuatu yang haram lagi." kata Arlita memohon, matanya berkaca-kaca.
"Arlita, aku mencintaimu."