"Saya membencimu, Assegaf. Jangan harap saya akan memaafkanmu. Sampai abu jenazah dihanyutkan ke laut, saya takkan memaafkanmu."
Adica, Syifa, Calvin, Revan dan Silvi tak habis pikir dengan lelaki setengah hidup itu. Bisa-bisanya sempat menghina dalam keadaan sakit. Hati mereka sakit mendengar caci-maki untuk Abi Assegaf. Bukan mereka yang dimaki, tetapi sakitnya terasa sekali.
"Mengapa kamu baik pada saya?" sergah John Riantama kasar.
"Mau menertawakan saya karena sakit? Mau lihat kehancuran saya?"
"Tidak, John. Saya hanya ingin kamu tahu kalau kamu tidak sendirian."
Jawaban lembut, sangat lembut. Abi Assegaf begitu tulus saat mengatakannya. John Riantama terpagut dalam kejut.
"Lihat saja! Kamu sendiri akan hancur! Kanker paru-paru akan memperpendek usiamu!"
Walau nafas dan usianya tak panjang, Abi Assegaf bersyukur masih diberi hidup. Kesempatan hidup, hadiah Tuhan paling berharga.
Arlita tiba di rumah sakit. Matanya tak berkedip menatapi apa yang dilakukan sang suami. Melihat Arlita, hati Silvi tercabik rasa bersalah. Sama bersalahnya seperti pada Calvin.
Benak Arlita diselimuti haru. Rasa cinta membuncah. Sungguh, dia beruntung memiliki suami sesempurna itu. Bola matanya berawan, siap menghamburkan hujan. Mualaf cantik Indo-Jerman itu teringat kisah Rasulullah dan pengemis Yahudi. Tiap pagi, Baginda Nabi menyuapi kakek Yahudi buta yang terus menghinanya. Si kakek itu tak tahu jika yang menyuapinya tiap pagi adalah Nabi Muhammad yang selalu ia hina dan caci-maki.
John Riantama tak lelah memaki. Ia baru berhenti saat Abi Assegaf selesai menyuapi dan meminumkan obat. Itu pun karena ia tertidur di bawah pengaruh obat.