Di ruangan sesunyi ini, John Riantama terbaring kaku. Tubuhnya lumpuh tak bisa digerakkan. Ia layaknya mayat setengah hidup. Bergerak tak bisa, menelan hampir tak bisa, melihat pun entah mampu entah tidak. Meski begitu, ia masih bisa bicara.
Hati Abi Assegaf tersentuh rasa iba. Pihak rumah sakit meneleponnya karena tak satu pun keluarga Riantama peduli. Ironis, mereka hanya peduli pemimpin keluarga di saat sehat. Ketika sakit, jangan harap ada perhatian.
"Kau...!" hardik John Riantama marah. Rupanya ia mengenali Abi Assegaf.
Abi Assegaf mendekat. John Riantama sangat mirip Deddy. Mata sipitnya, wajah orientalnya, pembawaannya, dan sifat to the pointnya.
"Kau tidak diharapkan!" geram John Riantama.
"Saya harap Anda cepat sembuh." balas Abi Assegaf tulus.
Empati menyentuh lembut hatinya. Abi Assegaf merasa jauh lebih beruntung. Ia masih bisa berjalan, walau tertatih. Masih bisa bernafas, walau masih sering bergantung dengan tabung oksigen. Masih sanggup beraktivitas, meski tak sesering dulu. Bahkan sesekali masih kuat bersiaran. Melihat kondisi John Riantama membuatnya semakin bersyukur.
"Syukur! Makanya, jangan jahatin Abiku!" maki Syifa dalam bisikan. Ia mengintip John Riantama di luar kamar. Tidak sopan, bisa-bisa Abi Assegaf menegurnya kalau tahu. Tapi, putri kampus itu terlanjur sakit hati.
"Syifa..." Adica pelan memperingatkan, mengusap-usap lengannya.
Silvi tak kalah gemasnya dengan Syifa. Rasakan, pikirnya kesal. Tempo hari John Riantama berdoa hal buruk untuk Abi Assegaf. Kini, doa itu malah berbalik mengenai dirinya sendiri.
Revan dan Calvin jauh lebih tenang. Mereka mengawasi dari jauh. Kagum dan bangga pada sosok ayah hebat di dalam sana.