Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Tulang Rusuk Malaikat] Gala Dinner

7 November 2018   06:00 Diperbarui: 7 November 2018   06:04 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Resah terbaca jelas di matanya. Pria berlesung pipi itu menekapkan tangan ke dada, menahan rasa dingin. Cepat Deddy meraih remote AC. Mengatur suhu ruang siaran. Dia tahu pasti kondisi teman lamanya.

"Sepertinya kamu kurang sehat pagi ini, Assegaf." Deddy angkat bicara, menatap lekat wajah Abi Assegaf.

Aku sehat, bisik hati kecilnya berulang-ulang. Calvin menarikan jemarinya di atas keyboard. Sugesti itu terus ia bisikkan ke dalam pikiran. Setidaknya, ia harus tetap sehat sampai nanti malam.

"Apa nanti malam kau serius akan..."

"Deddy, aku serius. Aku takut kehilangan Adica. Akan kulakukan apa pun untuk melindunginya."

Perkataan Abi Assegaf begitu mantap. Tak nampak setitik pun keraguan. Meski begitu, Deddy menangkap sesuatu yang ganjil. Namun ia tak mengatakannya.

Durasi siaran dimulai. Abi Assegaf membawakan opening sesion sama bagusnya seperti biasa. Tak ada yang berubah walau tubuh dan pikiran dikacaukan oleh sesuatu.

Sesuatu yang paling tak diinginkan Tuan Effendi hadir juga. Sebentuk kartu undangan berwarna biru-keemasan ia robek. Amarah menggelegak, mengaduk perasaan. Nyonya Rose memeluknya, berbisik menenangkan.

"Aku benci Zaki Assegaf! Beraninya dia membuat gala dinner dengan tujuan memperkenalkan anggota keluarga baru!" teriak Tuan Effendi.

"Sssttt...tenanglah, Effendi. Ini rumah sakit...kau mau diprotes pasien lainnya?"

"Aku tak peduli! Rose, kita harus mencegahnya!"

Calvin terburu bangkit dari sofa. MacBook di pangkuannya nyaris jatuh. Ia punguti robekan-robekan kartu undangan. Sama seperti sang Papa, hatinya pedih. Namun, harus bagaimana lagi?

Bagaimana cara Abi Assegaf tetap bersiaran dengan all out sekalipun kondisinya kurang baik sungguh mengagumkan Deddy. Ia bertekad akan belajar lebih banyak lagi dari teman lamanya ini. Tanpa diminta, Deddy terus menemani. Pagi tadi dia berjanji pada Sasmita dan dirinya sendiri untuk terus menemani Abi Assegaf sepanjang sisa hari itu.

Bukan Kuliah Subuh, bukan Harmoni Pagi. Abi Assegaf menantang dirinya sendiri dengan membawakan program berbeda: Musik Pelepas Lelah. Program yang lebih ekspresif dan dinamis. Dengan sabar, ditanggapinya para pendengar yang request. Mengesankan ketika pemimpin perusahaan sibuk melayani permintaan lagu dari para pendengar.

"Pendengar pasti senang dilayani Abi," komentar Adica. Disambuti anggukan Arlita dan Syifa.

"Abimu itu orang baik. Suka menyenangkan hati orang. Bersiaran salah satu buktinya." Arlita memuji, tersenyum penuh arti.

Angin berbisik-bisik menyejukkan balkon tinggi. Deburan ombak menghempas. Cerahnya siang itu senada dengan suasana hati mereka.

"Ummi, Adica, ayo kita turun. Mereka sudah datang." kata Syifa tetiba, beranjak bangkit lalu menggamit tangan dua orang tercintanya.

Waktu bersantai sudah lewat. Saatnya bersiap-siap untuk acara besar nanti malam.

**     


Mentari pun tahu

Ku cinta padamu

Percaya aku takkan kemana-mana

Aku kan selalu ada

Temani hingga hari tua

Percaya aku takkan kemana-mana

Setia akan kujaga

Kita teman bahagia (Jaz-Teman Bahagia).

Nuansa biru-keperakan mendominasi ballroom hotel. Meja-meja berlapis kain putih berbaris rapi. Panggung ukuran sedang berdiri anggun di tengah ruangan. Di atas panggung itulah terlihat dua pemuda tampan orientalis berduet dengan piano dan biola. Katakanlah lagu yang mereka bawakan untuk menyambut para tamu undangan.

Dua anak pengusaha, dua pemuda tampan dan berbakat. Duet mereka begitu memikat. Abi Assegaf menatap salah satu pemuda di antaranya lekat-lekat. Bangga menyejukkan hati, membuat bahagia.

Bukan hanya mentari. Bulan, bintang, dan langit pun tahu Abi Assegaf menyayangi Adica. Bila tak cinta, mana mungkin Abi Assegaf mengadakan gala dinner hanya untuk memperkenalkan Adica pada relasi bisnisnya?

Bisik-bisik kagum menyeruak. Puluhan pasang mata menatap penuh ketertarikan. Tanda tanya bergulir. Mengapa bisa anak angkat Michael Wirawan bergabung di keluarga Assegaf? Mana bisa, dua kata itu memantul pelan di dinding ballroom. Mungkin gerombolan kapitalis itu lupa. Allah membuat segala yang tak bisa menjadi bisa.

Pisau dan sendok-garpu perak berkilau mengundang. Tak sabar untuk dijamah para tamu. Keranjang berisi roti putih diletakkan di sudut setiap meja, lengkap dengan selai dan mentega. Kertas berwarna biru-keemasan tergeletak manis, mencantumkan menu:

Gala Dinner

Assegaf Group

Apetizer:

Chick peas salad

Main course:

Grilled fish with Arrabic marination

Dessert:

Almond briouats

Coffee or tea

Pelayan berkemeja putih mondar-mandir menyajikan menu. Sistem set menu khas Timur Tengah, sangat khas Abi Assegaf. Tiap kali membuat acara galla dinner, Abi Assegaf lebih memilih set menu dari pada buffet.

"Hei...kamu kenapa? Belum terbiasa ya? Kukira waktu masih sama Om Michael..." Syifa bertanya, tersenyum lembut.

Adica membalas senyum Syifa setengah hati. Bukan, bukan belum terbiasa. Hanya gugup. Lama hidup kekurangan dan kesepian, lalu tiba-tiba kembali hidup bergelimang harta dan menjadi pusat perhatian sungguh memerlukan adaptasi.

Abi Assegaf menggenggam tangannya. "Tidak apa-apa...tidak apa-apa. Tenanglah, anakku."

Malam ini, Adica dan Abi Assegaf tampil dalam gaya formal yang sama: two piece suit. Keduanya terinspirasi style David Beckham saat menghadiri Royal Wedding. Adica dan Abi Assegaf memakai two pieces suite berwarna black and grey.

Seakan tak mau kalah, Arlita dan Syifa kompak memakai wrap dress bermodel tube top berwarna merah darah. Sepertinya dua wanita cantik ini ingin menyaingi kekompakan para pria di keluarga mereka. Rambut Syifa diangkat ke atas membentuk jalinan rambut yang anggun, diselipi hairpiece berformat bunga mawar.

"Abi, Almond briouats itu apa?" tanya Adica mengalihkan perhatian dari perasaannya sendiri.

"Itu semacam pastry, Sayang. Isinya almond." jelas Abi Assegaf.

Adica mengedarkan pandang ke sekeliling ballroom. Orang-orang berjas rapi dan bergaun mahal memenuhi meja. Mereka hafal table manner di luar kepala. Sebagian dari mereka memasang ekspresi angkuh, sebagian lagi datar, sebagian lainnya tak peduli. Ketakutan lain tumbuh di hatinya. Bagaimana bila nanti tangannya tak dapat diajak bekerjasama? Bagaimana bila table mannernya kacau dan memalukan keluarga Assegaf?

"Jangan khawatir, anakku...cinta. Abi tak pernah malu memilikimu sebagai anak."

Kata-kata Abi Assegaf merasuk lembut. Syifa tersenyum manis. Arlita mengangguk membesarkan hati.

Di meja sebelah, Tuan Effendi mengepalkan tangan. Ia muak dan cemburu melihat kedekatan ayah dan anak itu. Calvin tertunduk dalam. Nyonya Rose menelan kesedihan dalam diam.

Menu disajikan. Apa yang ditakutkannya terjadi. Benar saja, putra kesayangan Abi Assegaf kesulitan menggerakkan pisaunya. Dengan lembut, Abi Assegaf membantu Adica memotong grilled fish-nya. Malukah Abi Assegaf? Sama sekali tidak. Ia justru bangga, bangga bisa mengasihi mereka yang istimewa.

Kelembutan dan ketenangan Abi Assegaf kontras dengan gosip yang membadai di antara para tamu. Mereka memberontak, mengeluh, menyayangkan, dan mengkritisi pilihan Abi Assegaf.

"Parah...apa maunya si Assegaf itu?"

"Iya, masa mengangkat anak sakit-sakitan kayak gitu?"

"Memalukan ya...wah, bisa jadi berita hangat besok pagi. Wartawan udah tahu belum ya?"

Biar saja mereka menjustifikasi. Biar saja mereka bicara negatif. Memangnya Abi Assegaf peduli dengan kenakalan pers? Toh hisab seseorang bukan ditentukan dari persepsi orang lain, tetapi langsung dari Allah.

Meski begitu, tak semua tamu merendahkan. Ada pula segelintir tamu undangan yang berpikiran pro. Mereka salut pada Abi Assegaf. Rerata mereka sudah kenal Abi Assegaf sejak lama, bukan sebagai klien bisnis. Deddy dan Sasmita salah satunya. Mata hati dua penyiar senior itu telah terbuka sempurna.

Ketika sisa-sisa makanan telah bersih dari meja, Abi Assegaf naik ke panggung. Ballroom perlahan hening. Semua mata tertuju padanya. Meja utama kini kosong.

"Assalamualaikum Warahmatullahi wa barakatuh...selamat malam. Terima kasih pada hadirin sekalian yang telah meluangkan waktu untuk memenuhi undangan gala dinner Assegaf Group." sapa Abi Assegaf hangat, tersenyum menawan pada seluruh audience.

Para tamu khusyuk mendengarkan. Yakin sekali ada yang jauh lebih penting dari sapaan dan ucapan terima kasih.

"Malam ini, saya ingin berbagi kebahagiaan dengan kalian semua. Gala dinner bukan hanya untuk merayakan pernikahan kedua saya dengan Arlita..."

Abi Assegaf berpaling, menatap Arlita yang kini berdiri di sisinya dengan penuh cinta. Publik sepakat. Abi Assegaf dan Arlita pasangan serasi. Pengusaha dan penyiar tampan berpasangan dengan mualaf cantik.

"Tetapi juga untuk memperkenalkan anggota keluarga baru...seorang anak yang sangat saya cintai. Saya bahagia sekali dia jadi bagian dalam keluarga...untuk itu, saya perkenalkan Adica Wirawan Assegaf pada hadirin sekalian..."

"Tidak!"

Tak sempat hadirin bertepuk tangan. Tak sempat kalimat terselesaikan. Tuan Effendi menggebrak meja. Wajahnya memerah menahan amarah.

"Effendi..."

"Papa..."

Calvin dan Nyonya Rose bangkit bersamaan. Memegang lembut lengan Tuan Effendi. Dengan kasar, pria itu mengibaskan lengan dari pegangan istri dan anaknya.

"Zaki Assegaf, kau tak berhak menjadikan dia anggota keluargamu! Karena dia anakku!"

Diiringi teriakan penuh emosi, Tuan Effendi mengangkat tinggi lembaran kertas hasil tes DNA. Tindakan impulsif rasa nekat. Efeknya fatal.

Wajah Calvin dan Adica sepucat mayat hidup. Syifa menahan nafas. Arlita terbelalak. Nyonya Rose kaget, tak menyangka suaminya seberani itu. Deddy dan Sasmita diam-diam melangkah ke backstage. Perasaan mereka tak enak. Para tamu undangan berbisik-isik seru. Ajang pergosipan dimulai lagi.

Abi Assegaf shock. Ia tak percaya, sungguh tak percaya. Ya, Allah, benarkah apa yang dikatakan Tuan Effendi? Sedetik kemudian, sakit menusuk tajam dada Abi Assegaf. Refleks ia memegangi dadanya. Diikuti tatapan cemas Adica, Arlita, dan Syifa.

"Abi...Abi kenapa?" bisik Syifa khawatir.

"Zaki...Sayangku, kamu baik-baik saja?"

Pertama kalinya setelah sekian lama, Arlita memanggil nama depan suaminya. Seharusnya ini akan jadi malam paling membahagiakan, namun...

Brak!

Abi Assegaf jatuh, jatuh dari atas panggung tinggi. Para tamu wanita menjerit. Deddy dan Sasmita muncul dari balik panggung, lalu mengangkat tubuh tak berdaya itu. Arlita menutup mata sejenak, terkejut luar biasa melihat suaminya jatuh dengan cara seperti itu. Syifa dan Adica ikut membantu membawa tubuh Abi Assegaf sebisa mereka. Abi Assegaf jatuh pingsan dengan darah mengalir di hidungnya.

**      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun